Ditulis oleh: Rusman Rusli dan Hendrajit, Global Future Institute
SAAT ini kita tertuju dengan kota di Cianjur yang pada Senin (22 Nopember 2022) wilayahnya mengalami guncangan gempa magnitudo 5,6. Menurut laporan BMKG, gempa bumi Cianjur dipicu oleh pergerakan Sesar Cimandiri.
Sesar Cimandiri merupakan sesar atau patahan geser aktif yang memanjang mulai dari muara Sungai Cimandiri di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, lalu mengarah ke timur laut melewati Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Subang.
Dalam catatan sejarah, gempa di wilayah Cianjur dan sekitarnya ini sudah pernah terjadi sejak tahun 1844. Bahkan pada tahun 1879, gempa menyebabkan banyak rumah rusak di wilayah Sukabumi.
Bagi saya Cianjur memiliki banyak keistimewaan dalam hal keindahan alam dan kesenian serta budayanya. Hanya beberapa tempat yang menarik bagi saya bila ke wilayah Cianjur hingga kini.
Pertama, di wilayah Gunung Padang. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Kedua, wilayah Gentur, daerah pengrajin lampu gentur. Yang dalam proses pembuatannya, ada pengrajin yang tak berberzikir.
Untuk lampu gentur, saya dengan lembaga langit Indonesia Tradisi, sempat menjadi supplier untuk mengekspor lampu-lampu gentur. Sayangnya, kegiatan ini kami hentikan ketika wabah covid muncul di negeri ini.
Nah bagaimana dengan sejarah Cianjur?
Sejarah Kabupaten Cianjur sangat sedikit diketahui. Namun berdasarkan cerita dari para orang tua, daerah Kabupaten Cianjur dahulunya adalah termasuk kedalam wilayah Kerajaan Pajajaran.
Konon, Cianjur pertama kali didirikan oleh Raden Aria Wiratma yang merupakan putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang pada tanggal 12 Juli 1677. Pada pertengahan abad ke-17 terjadi perpindahan rakyat dari Talaga ke Sagara Herang yang dipimpin oleh Aria wangsa Goparana.
Aria wangsa Goparana adalah keturunan Kerajaan Talaga, yang terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk Hindu.
Ia mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Bersama dengan Pangeran Girilaya, dia mendirikan pesantren.
Kota Cianjur menjadi Kota Keresidenan Priangan pada masa Raden Kusumah Diningrat dengan wilayah meliputi Pelabuhan Ratu sebelah barat, Sungai Citanduy dengan barisan Gunung Halimun, Mega Mendung, Tangkuban Perahu sebelah timur, dan Samudra Indonesia sebelah selatan.
Kemudian pada masa Bupati R.A.A Prawiradiredja wilayah Cianjur mengalami perubahan menjadi Cikole sebelah barat, Sukabumi sekarang, Bandung dan Tasikmalaya dengan Ibukota Keresidenan dipindahkan ke Bandung.
Perkebunan karet dan teh merupakan akibat dari sistem tanam paksa (cultur stelsel). Perkebunan tersebut merupakan tempat hiburan akhir pekan bagi asisten residen dan orang-orang belanda yang tinggal di Cianjur dan cenderung membuat rumah didaerah Cipanas-Puncak.
Secara Geografis, Kabupaten Cianjur terletak pada 106. 25o -107. 25o Bujur Timur dan 6.21o – 7.32o Lintang Selatan dengan batas-batas administratif: Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta.
Cianjur memiliki 3 filosopi: Ngaos, Mamaos dan Maenpo.
Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. Citra sebagai daerah agamis ini konon sudah terintis sejak Cianjur lahir sekitar tahun 1677 di mana wilayah Cianjur ini dibangun oleh para ulama dan santri tempo dulu yang gencar mengembangkan syiar Islam.
ltulah sebabnya Cianjur juga sempat mendapat julukan gudang santri dan kyai sehingga mendapat julukan KOTA SANTRI.
Mamaos adalah seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Tembang Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti.
la menjadi dalem tatar Cianjur sekitar tahun 1834-1862. Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (Kecapi besar dan Kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru. Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya.
Maenpo adalah seni bela diri pencak silat yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan. Pencipta dan penyebar maenpo ini adalah R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim, aliran ini mempunyai ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan saling bersentuhan.
Dalam maenpo dikenal ilmu Liliwatan (penghindaran) dan Peupeuhan (pukulan).
Apabila filosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan symbol rasa keber-agamaan, kebudayaan dan kerja keras.
Dengan keberagamaan sasaran yang ingin dicapai adalah terciptanya keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat Cianjur ingin mempertahankan keberadaannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tata krama dan sopan santun dalam tata pergaulan hidup.
Kini, nagari Cianjur sedang mengalami duka akibat gempa yang mengoyang wilayah. Semoga masyarakat Cianjur tambah dan bangkit kembali bersama kita akan ikut berpartisipasi membangun daerah yang berdampak gempa.
Mengutip lagu budayawan Eros Djarot, Badai pasti berlalu. Insya allah.
(***)