KedaiPena.Com – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, membenarkan, bahwasanya Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dapat diberhentikan oleh presiden, karena keputusan gubernur (kepgub) izin pelaksanaan reklamasi yang diterbitkannya menyalahi konstitusi.
“Dalam Pasal 67 huruf b UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dijelaskan bahwasanya kepala daerah wajib menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya kepada KedaiPena.com, Sabtu (30/4).
Faktanya, kata Margarito, kepgub yang diterbitkan Ahok tidak mengindahkan kaidah hukum. Dia mencontohkan dengan Kepgub No. 2238/2014 tentang Izin Pelaksaan Reklamasi Pulau G (Pluit City) oleh PT Muara Wisesa Samudra yang tidak memasukkan UU No. 1/2014 sebagai dasar hukumnya pada bagian konsideran, khususnya poin menimbang.
“Tetapi, langsung loncat ke Perpres No. 122/2012. Padahal, perpres tersebut turunan dari UU No. 1/2014 (sebelumnya UU No. 27/2007), bukan terbit tiba-tiba tanpa UU yang melatarbelakanginya,” bebernya.
“Lucunya, konsideran kelima kepgub (izin pelaksanaan reklamasi yang diterbitkan Ahok) itu juga berbeda-beda. Seperti Kepgub Pulau G, hanya ada poin menimbang dan mengingat. Sedangkan beberapa lainnya, ada diktum memperhatikan,” sambung Margarito.
Kealpaan tidak bisa menjadi dalil pembenaran, mengingat UU No. 1/2014 diundangkan pada 15 Januari 2014. Sementara Kepgub Izin Pelaksanaan Reklamasi yang dikeluarkan Ahok pada 23 Desember 2014.
Adanya UU No. 1/2014 dan Perpres No. 122/2012, ucap Margarito, secara otomatis menggugurkan dalil Pemprov DKI, bahwasanya Keppres No. 52/1995 dan Perda No. 8/1995 reklamasi menjadi kewenangan kepada daerah. Apalagi, kedudukan UU tersebut secara hierarki, berada di atas keppres dan perda.
Pada Pasal 34 ayat (3) UU No. 27/2007 dijelaskan, bahwasanya perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur lebih lanjut dengan perpres, yakni Perpres No. 122/2012.
Dan dalam Pasal 15 Perpres 122/2012 menerangkan, pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang yang akan melaksanakan reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi.
Meski Pasal 16 Perpres 122/2012 juga menjelaskan, bila kepala daerah dapat memberikan izin pelaksanaan dan izin lokasi reklamasi sesuai kewenangannya, tidak berarti menjadikan gubernur DKI dibenarkan menerbitkan izin pelaksanaan dan izin lokasi.
“Karena kewenangan menteri pada Pasal 50 UU No. 27/2007 telah diperluas di Pasal 50 UU No. 1/2014,” papar mantan staf ahli Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) ini.
Untuk diketahui, pada Pasal 50 ayat (1) UU No. 27/2007 diterangkan, bahwa menteri berkewenangan menerbitkan hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) di wilayah perairan pesisir lintas provinsi dan kawasan strategis nasional tertentu.
Dan pada Pasal 50 ayat (1) UU No. 1/2014 menjadi menteri berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan izin pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, kawasan strategis nasional, kawasan strategis nasional tertentu, dan kawasan konservasi nasional.
“Dengan demikian, yang seharusnya menjadi rujukan adalah UU No. 1/2014 itu, karena kedudukannya lebih tinggi dibanding Perpres 122/2012,” tuturnya.
Pasal 51 UU No. 1/2014 pun ditabrak bekas bupati Belitung Timur selama 17 bulan ini. Pasalnya, kewenangan menteri pada UU No. 27/2007 berupa penetapan lokasi mengalami perluasan pada perubahan UU tersebut.
“Artinya, Raperda RZWP3K (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) yang diajukan Pemprov DKI kepada DPRD pada Maret 2015 itu tidak ada dasar hukumnya, karena aturan dari pusat (Perpres No. 3/2016) baru terbit belakangan,” ungkap Margarito.
Sayangnya, jauh-jauh hari sebelum kepgub izin pelaksanaan diterbitkan, Pemprov DKI telah mewacanakan megaproyek pembangunan 17 pulau buatan di pesisir Teluk Jakarta dibagi menjadi tiga subkawasan.
Barat untuk pemukiman intensitas sedang, kegiatan rekreasi, dan komersial terbatas; Tengah guna pusat perdagangan dan jasa, wisata, dan pemukiman intensitas tinggi; serta Timur sebagai pusat distribusi barang, pelabuhan, industri/pergudangan, dan pemukiman intensitas rendah.
Lebih jauh, akademisi kelahiran Ternate ini menerangkan, Jokowi bisa dapat sesegera mungkin memberhentikan Ahok, bila DPRD DKI tidak mengusulkan, sebagaimana tercantum pada Pasal 79 ayat (2) UU No. 23/2014. “Presiden bisa langsung mengambil tindakan, apabila tidak ada proses atau keputusan politik di dewan,”
Margarito menambahkan, kasus ini juga memiliki ekses secara hukum lebih luas, bila mencermati bunyi Pasal 90 UU No. 23/2014.
Sebelumnya, Ketua nonaktif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DKI, Boy Bernadi Sadikin, meminta pemerintah pusat turut mengusut dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan selama masa moratorium megaproyek pembangunan 17 pulau buatan di Pantai Utara (Pantura) Jakarta.
“Saya harap, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga mengusut masalah ini,†ujarnya dengan alasan seluruh izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Ahok menabrak peraturan perundang-undangan di atasnya.
(Fat/Dom)