Artikel ini ditulis oleh Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe).
Pada Hari Raya Idul Fitri yang dirayakan jamaah Muhammadiyah, 21 April, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri – yang merupakan keluarga Muhammadiyah – mengumumkan bakal capresnya: Ganjar Pranowo! Para kader PDI-P se-Indonesia, khususnya Presiden Jokowi ikut hadir pada acara yang dramatis itu.
Tentu saja Idul Fitri sengaja dipilih untuk sekalian rakyat merayakan penominasian Gubernur Jateng itu sebagai capres. Memang tidak masuk akal PDI-P mengabaikan kadernya yang memilki elektabilitas tinggi.
Menurut hasil jajak pendapat lembaga survey Polmarck terkini, elektabilitas Ganjar yang tertinggi (23%), Prabowo Subianto 17%, dan Anies Baswedan 14%. Semua angka ini saya bulatkan.
Pencapresan Ganjar oleh PDI-P tentu saja berdampak besar. Pasti konstelasi koalisi berubah, terutama terkait koalisi besar (Golkar, Gerindra, PKB, PAN, PPP). Koalisi ini diinisiasi Jokowi tanpa mengundang PDI-P. Ketika diluncurkan bbrapa hari lalu, Prabowo diniatkan sabagai bacapres koalisi besar.
Sebelum Ganjar dideklarasikan siang ini, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani melakukan safari politik ke parpol-parpol di koalisi besar. Tidak jelas apakah ketika itu PDI-P telah menyodorkan Ganjar sebagai bacapresnya. Tetapi kita tidak mendengar respons positif dari koalisi besar terhadap safari Puan.
Bisa jadi waktu itu PDI-P menawarkan Puan sebagai bacapresnya, yang elektabilitasnya rendah. Karena tidak diminati parpol lain, PDI-P dipaksa merespons realitas politik secara masuk akal terkait pilpres. Yang berdampak besar terhadap pencapresan Ganjar adalah bacapres Prabowo.
Sudah jauh-jauh hari Gerindra di bawah kepemimpinan Prabowo dan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar telah berkomitmen secara lisan untuk membangun koalisi di mana diperkirakan Prabowo sebagai bacapres dan Cak Imin sebagai bacawapres. Dari sisi elektabilitas, Gerindra memang lebih tinggi daripada PKB. Bagaimanapun, koalisi yang mereka sebut “Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya” (KKIR) sangat mungkin merupakan siasat Cak Imin untuk menarik parpol lain bergabung.
Kalau KKIR tidak laku, PKB bisa melompat ke temapt lain. Maka ketika PDI-P menjadikan Ganjar sebagai bacapres, akan masuk akal kalau PKB bergabung ke PDI-P. Pencapresan Ganjar juga memunculkan pertanyaan tentang kelangsungan koalisi besar, apalagi Jokowi kini telah berbalik mendukung PDI-P dengan Ganjar sebagai bacapres.
Koalisi besar merupakan gabungan KKIR dan Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar, PAN, PPP). Kalau PKB bergabung dgn PDI-P, besar kemungkinan KIB juga akan merapat ke sana. Di atas kertas, Ganjar berpeluang lebih besar untuk menang ketimbang Prabowo. Lagi pula, koalisi besar belum terbentuk secara resmi. Ia juga belum memiliki bacapres ataupun bacawapres.
Dus, logis kalau KIB dan PKB bergabung dengan PDI-P. Bahkan, karena PDI-P butuh suara Nahdliyin, sangat mungkin Cak Imin akan dipilih sebagai bacawapres. KIB tak punya pilihan lebih rasional daripada ikut PDI-P bersama PKB untuk membangun koalisi kalau tidak tertarik bergabung dengan KPP.
Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP (Nasdem, Demokrat, PKS) akan stabil karena komitmen mereka sudah sangat jauh dan pasti juga mereka telah mengantisipasi kemungkinan Ganjar menjadi kompetitor Anies. Kalau prediksi saya tidak meleset.
Bahwa koalisi besar (tanpa Gerindra) akan bergabung dengan PDI-P, timbul pertanyaan ke mana Gerindra-Prabowo, yang telah ditinggal sendirian, akan berlabuh?
Tidak mungkin Gerindra bergabung dengan KPP kalau syaratnya Prabowo menjadi bakal cawapres karena KPP telah punya bacapres dan “bacawapres”. Sulit juga Gerindra-Prabowo bergabung dengan koalisi baru pimpinan PDI-P untuk alasan yang sama karena mereka telah punya pasangan pasti: Ganjar-Muhaimin/Airlangga Hartarto.
Dengan demikian, mungkin untuk kesekian kalinya Prabowo menemukan dirinya kurang beruntung. Selalu saja ia ditinggalkan oleh orang-orang yang dia percayai. Pasalnya, Prabowo suka lupa pada hukum besi politik bahwa “tidak ada kawan yang abadi kecuali kepentingan.”
Bagaimanapun, Prabowo juga pernah meninggalkan pendukungnya yang ia janjikan akan timbul tenggelam bersama mereka. Kini tidak ada yang lebih penting bagi Prabowo kecuali menyadari “I’m the past“. Kuburkan saja mimpi lama menjadi presiden.
Prabowo lebih dikenal sebagai tokoh paling berhasil dalam perannya sebagai king maker. Kalau bergabung dengan koalisi baru pimpinan PDI-P, peran Gerindra akan dipandang kurang signifikan ketika di sana sudah ada Golkar, PKB, PAN, dan PPP.
Kalau ia bergabung dengan KPP, bukan saja Prabowo pulang kandang yang akan disambut pendukungnya yang dulu ia kecewakan, tapi juga ia akan dilihat sebagai “king maker“.
Pasalnya, Gerindra adalah parpol terbesar kedua setelah PDI-P. Bergabungnya Gerindra ke dalam KPP akan memberikan insentif elektoral yang sangat signifikan bagi Anies dan pasangannya. Kalau nanti capres-cawapres KPP menang — peluang menangnya cukup besar — Gerindra akan dapat kue lebih besar di pemerintahan Anies. Dus, pilih menjadi perunggu di koalisi pimpinan PDI-P atau menjadi emas di KPP. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.
Tangsel, 21 April 2023
[***]