Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Baru saja Presiden PKAD (Pusat Kajian & Analisis Data) Cak Slamet Sugiyanto menghubungi penulis, untuk berdiskusi ihwal pencapresan Ganjar Pranowo pasca diumumkan secara resmi oleh PDIP (Jum’at, 21/4). Diskusi akan dilaksanakan hari ini, Sabtu (22/4) pukul 15.30 – 17.00 WIB.
Setelah telenovela perseteruan kubu banteng dan kubu celeng cukup lama tayang, akhirnya sang pemilik PDIP mengambil keputusan. Megawati, dengan mengucap bismilah menetapkan Ganjar sebagai petugas partai untuk mendapatkan penugasan menjadi Capres PDIP.
Akhirnya, publik sadar dalam politik tidak ada perseteruan yang abadi sekaligus tidak ada pertemanan yang sejati. Berkhianat dan menipu, adalah corak kepiawian politik yang paling tinggi untuk sampai ke tampuk kekuasaan.
Orang-orang semisal Masinton Pasaribu atau Trimedia Panjaitan, hanya dijadikan ‘herder partai’ yang ditugaskan untuk memainkan psikologi rakyat agar PDIP masih dianggap oposisi sekaligus agar Ganjar dianggap korban politik. Playing victim, sebuah modus operandi untuk mendapatkan simpati publik hingga akhirnya dapat dikapitalisasi untuk meningkatkan elektabilitas.
Bagi Ganjar, konflik Banteng – Celeng bukanlah perseteruan abadi. Karena pada akhirnya, itu hanyalah trik agar Ganjar & PDIP menjadi pusat perhatian publik, trending di sosial media, akhirnya dilegitimasi lembaga survei sebagai Capres potensial. Puncaknya, boleh saja telah disiapkan SK Penetapan Kemenangan Capres oleh KPU.
Sementara bagi Prabowo Subianto, pengumuman Megawati di Batutulis ini akan kembali mengingatkan kenangan Koalisi Mega-Pro 2009. Prabowo akan sadar dan selalu terlambat, bahwa PDIP (baca: Megawati) bukanlah kawan abadi, melainkan selalu pemberi PHP abadi. Boleh jadi, jika memaksakan maju Pilpres, Prabowo juga akan dikenang sebagai ‘Capres Abadi’.
Posisi Ganjar saat ini, jauh lebih kokoh ketimbang Anies Baswedan. PDIP memiliki kewenangan otoritatif untuk mencalonkan petugas partainya menjadi capres, tanpa bergantung pada partai lainnya.
Boleh jadi PDIP akan membuka koalisi untuk mendukung Ganjar. Namun, sifat koalisi ini adalah untuk meningkatkan dukungan dan elektabilitas Ganjar agar menang, bukan untuk tujuan agar Ganjar bisa mendaftar ke KPU.
Adapun Anies Baswedan, sangat bergantung pada NasDem, PKS dan Demokrat secara kolektif dan kolegial. Salah satu partai saja mundur, Anies gagal nyapres karena tidak cukup suara untuk mendapatkan tiket pencapresan.
Apalagi, partai pengusung Anies tidak benar-benar ridlo menyerahkan sosok Cawapres kepada Anies. PKS yang semula mengusung Aher, kini bermanuver lagi mendongkrak sosok Mahfud MD sebagai Cawapres. Demokrat, juga masih belum sepenuhnya solid jika nantinya sosok Cawapresnya bukan AHY. Adapun NasDem, sejak awal sangat kental menggiring sosok Cawapres dibawah asuhan NasDem dengan meminjam narasi ‘Menyerahkan sepenuhnya kepada Anies’.
Pencapresan Ganjar ini, setidaknya akan mengubah konstelasi dan amatan politik nasional, karena sebelumnya sempat memunculkan sejumlah spekulasi dan asumsi. Misalnya, soal mempertahankan trah Soekarno via Puan Maharani hingga pembalasan PDIP atas pengkhianatan Jokowi. Akhirnya, atas kesamaan platform ‘kepentingan politik yang sama’, kubu yang sejak awal memang satu kolam, berdamai dan bersatu.
Meskipun pengumuman dilakukan sehari menjelang hari raya, atau bahkan tepat pada hari raya (merujuk perayaan Idul Fitri Muhammadiyah & Umat Islam yang mengadopsi Ru’yah Global), Megawati sama sekali tidak mengadopsi narasi religiusitas dalam momentum pengumuman pencapresan Ganjar.
Tak ada narasi jihad politik dalam suasana Ramadhan, atau gema kemenangan Idul Fitri yang menandai kemenangan Ganjar. Megawati, justru mengambil momentum hari Kartini, yang secara de facto sulit di injeksi ke benak publik.
Meskipun demikian, secara faktual momentum lebaran inilah yang dimanfaatkan PDIP untuk mengumumkan pencapresan Ganjar, karena perbincangan ini akan hadir dalam ruang kolektif saat perayaan Idul Fitri, menjadi perbincangan segenap elit dan rakyat.
Walaupun Prabowo dikhianati PDIP berkali-kali, juga melakukan pengkhianatan kepada pendukungnya saat Pilpres 2019, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkah Prabowo untuk maju Pilpres. Jokowi telah meletakan investasi politiknya secara rapih, di keranjang Prabowo dan Ganjar. Siapapun pemenangnya, kepentingan Jokowi pasca lengser akan diamankan.
Bagi oligarki, Prabowo maupun Ganjar, sama-sama telah menunjukan komitmennya sebagai pelayan yang baik. Meski tidak sebaik dan seloyal Jokowi, Prabowo dan Ganjar cukup memiliki keranjang yang hangat untuk menetaskan telur investasi politik para oligarki.
Mendorong Prabowo Capres sangat mudah. Tinggal biayai PKB untuk berkoalisi dengan Gerindra, sehingga cukup suara untuk maju Pilpres.
PKB lebih berkepentingan terhadap akses dana politik dari oligarki untuk membesarkan partai, biaya Pemilu, meningkatkan suara PKB, ketimbang ekspektasi Prabowo menang, baik Cawapresnya Cak Imin atau yang selainnya.
Koalisi besar, sebagian bisa merapat ke Prabowo, sebagian bisa merapat ke Ganjar. Tinggal, oligarki lebih besar menyiapkan mahar kearah mana. Yang jelas, mereka adalah kubu yang sebelumnya berkuasa, sehingga preferensi utama tentu akan mendukung Capres yang potensial menang agar mendapatkan jatah kue kekuasaan.
Sedangkan Anies? Potensial gagal nyapres bukan karena kasus Formula E. Tetapi lebih karena perang kepentingan partai pengusung.
Sebenarnya, Anies masih berpeluang maju tetapi tidak sebagai Capres melainkan sekedar sebagai Cawapres untuk tujuan menaikan elektabilitas Capresnya. Itu realitas yang mungkin terjadi.
Jadi, sangat mungkin Pilpres 2024 adalah Pilpres pertarungan Ganjar vs Prabowo, dengan berbagai varian Cawapresnya. Diatas kertas, Pilpres ini adalah pesta oligarki yang paling menyenangkan. Karena siapapun Presiden terpilih, oligarki tetap menjadi pemenang dan penguasanya.
Tak ada kekuatan oposisi yang mengimbangi. PKS & Demokrat tidak dapat menjadi kekuatan penyeimbang karena keduanya sangat ringkih. Demokrat juga akan menghadapi serangan politik dari dua arah, dari eks Ketum Demokrat Anas Urbaningrum dan dari upaya Kudeta Partai yang dilakukan KSP Moeldoko.
PKS juga akan mengambil pilihan yang lebih realistis, akan fokus untuk meningkatkan suara partainya ketimbang berjibaku bertarung dengan melawan rezim & oligarki. Selain rawan dikriminalisasi, posisi ini secara politik juga tidak menguntungkan bagi PKS.
Akhirnya, yang benar-benar akan beroposisi dengan rezim dan oligarki bukanlah Partai Politik, melainkan rakyat secara langsung yang direpresentasikan dari kekuatan politik keumatan yang dikendalikan Ormas Islam, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar yang dimotori ulama, gerakan kritik para aktivis, dan kekuatan penyeimbang dari elemen rakyat lainnya.
[***]