KedaiPena.Com- Lembaga Riset Kebencanaan Ikatan Alumni (IA-ITB) angkat bicara soal banjir di Jakarta yang saat ini dikaitkan dengan politik. Hal itu merunut pernyataan dari pihak yang mengaitkan banjir di ibu kota Jakarta yang terjadi beberapa waktu lalu dengan urusan politik.
“Mengkaitkan banjir (Jakarta) dengan politik sebenarnya bagaikan api jauh dari panggang dan sejatinya tidak boleh ada politisasi banjir yang malah dapat mengganggu upaya-upaya penanganan banjir itu sendiri,” kata Kepala Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB Heri Andreas dalam keterangan tertulis, Senin,(17/10/2022).
Ia menerangkan, bahwa banjir urusannya lebih ke masalah teknis dimana terjadi gangguan kesetimbangan dari siklus air. Ia menerangkan, infiltrasi yang tidak seimbang dengan run off dan daya tampung air telah menyebabkan banjir hadir.
“Supaya tidak banjir sederhananya tinggal bagaimana kita memaksimalkan infiltrasi atau daya tampung air atau keduanya. Infiltrasi dan daya tampung tidak perlu politik,” papar dia.
Ia menilai, dari zaman Gubernur Fauzi Bowo bahkan jauh sebelumnya, hingga zaman Ahok dan Anies, upaya-upaya penyediaan daya tampung air telah dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. Tercatat bahkan di zaman Ahok upaya yang dilakukan cukup progresif.
“Jadi ketika banjir saat ini semisal cepat surut, ini artinya ada kontribusi dari semua Gubernur. Jika serta merta hanya seolah peran dari Anies semata, sejatinya akan terlalu naif dan kental sekali nuansa politiknya,” tutur dia.
Ia pun menyoroti, pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang mengaitkan kondisi banjir di Jakarta dengan deklarasi capres Anies Baswedan oleh NasDem. Ia mengungkapkan bahwa para ahli melihat hal tersebut sebagai guyon semata dari Hasto.
“Bahkan bagi para ahli banjir melihat hal tersebut bisa jadi hanya guyonan Hasto semata. Kembali lagi bahwa mengkaitkan banjir dengan politik akhirnya hanya akan melahirkan hal-hal yang membiaskan fakta banjir itu sendiri dan mengganggu upaya-upaya penanganan yang seharusnya dilakukan,” papar dia.
Ia memandang, banjir di Jakarta harus menempatkan curah hujan sebagai given, yang artinya diterima apa adanya meski ada sedikit upaya melalui rekayasa cuaca.
“Sementara itu untuk menangani banjir kita dapat mengupayakan optimalisasi infiltrasi atau daya tampung air atau keduanya. Akan lebih elok jika Kita tidak gampang menyalahkan curah hujan atau tidak playing victim dengan mengatakan curah hujan diluar kendali Kita. Memang kita bukan avatar pengendali air,” beber dia.
Ia melanjutkan, jika ditelaah secara seksama dalam beberapa tahun terakhir di Jakarta tidak terdapat upaya signifikan dalam optimalisasi daya tampung air. Normalisasi sungai terhenti demi janji politik, naturalisasi hanya sekedar rencana belaka.
“Upaya optimalisasi infiltrasi melalui program biopori tidak efektif Karena bawah tanah Jakarta telah jenuh air,” imbuh dia.
Kepala Laboratorium Geodesi ITB berharap politisasi banjir di Jakarta berhenti setelah lengsernya Anies. Harapan ini demi terwujudnya upaya penanganan banjir yang lebih maksimal lagi.
“Jika terus menerus banjir dipolitisasi maka dipastikan banjir akan selalu menghiasi Kota Jakarta,” beber dia.
Ia menambahkan, dengan kondisi saat ini dimana Jakarta yang merupakan hutan beton dan hulunya sudah menjadi kebun vila maka upaya jangka pendek harus berfokus kepada optimalisasi daya tampung air seperti normalisasi sungai, waduk dan lain-lain.
“Langkah ini pun menjadi pilihan Kota-Kota di Dunia dalam mengatasi banjir. Untuk jangka panjang, secara perlahan baru Kita terus upayakan restorasi Daerah Aliran Sungai,” pungkas dia.
Diketahui, Jakarta menjadi sorotan setelah banjir yang kembali melanda imbas hujan dan cuaca ekstrem. Eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru-baru ini mengklaim banjir di Jakarta saat ini cepat surut dibandingkan zaman Ahok.
Sementara itu Sekjen PDIP Hasto mengatakan bahwa setelah Anies dicapreskan tiba-tiba banjir datang. Merespon Hasto, NasDem dengan sigap membela Anies.
Laporan: Tim Kedai Pena