PUSAT kekuasaan Indonesia di Jakarta seperti mendapat angin segar pembangunan saat RRC bersemangat mengganti alat tukar pada transaksi perdagangan dan keuangan dari dolar AS ke Yuan Renminbi dan menukar sistem neoliberal dengan model kerjasama pertumbuhan.
Apalagi saat kampanye Pilpres 2014, betapa sering telinga orang Indonesia mendengar, “uangnya ada kok (maksudnya untuk membangun). Tinggal kita mau kerja atau tidak.” Ternyata dananya minus, dan RRC-lah yang mendukung angin segar itu menjadi kerja, kerja, dan kerja.
Hal ini membawa Indonesia tergiur dengan program Belt and Road Initiative yang digagas Beijing. Beijing sesumbar tentang pentingnya kerjasama pertumbuhan, bukan kesinambungan pembangunan yang basisnya utang.
Dari posisi ini, Jakarta yang bersemangat membangun infrastruktur demi meningkatkan daya saing nasional, menarik pendulum ekonomi politik luar negeri dari Barat, khususnya dari Washington, ke Beijing.
Hal itu ditandai dengan makin banyaknya proyek infrastruktur bermodel turn key project yang didanai dan dikerjakan RRC. Washington melihat, diberikannya proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang dirancang Jepang kepada RRC membuktikan, Jakarta telah beralih pandangan ke Beijing.
Bahkan dengan mengijinkan ekspor nickel berkalori rendah lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan, Jakarta dinilai mendukung percepatan kehadiran electric vehicle (EV) di RRC. Bloomberg pernah menulis bahwa Cina menyediakan tempat pengisian ulang baterai mobil delapan kali lebih banyak daripada AS.
Justru dengan baterai berbahan dasar nickel dari Indonesia ini, maka Jakarta dipandang telah memberi jalan bagi kemenangan RRC dalam bersaing dengan AS soal EV.
Kecenderungan Jakarta beralih perhatian ekonomi politik dari Washington ke Beijing juga terbukti saat di Morowali dibangun industrial Park. Di tempat inilah produksi nickel dikerjakan guna mendukung kebijakan pengadaan baterai bagi industri internet of thing (IOT)-nya Cina.
Banyak indikasi lain bahwa Jakarta telah menarik pendulumnya ke Cina demikian cepat tanpa jeda. Bagi Washington yang menderita kekalahan perang dagang sejak 2004 dan masih melanjutkan perang IOT dengan Cina serta masih berebut pengaruh di kawasan Asia, sikap Jakarta tentu mengganggu dominasi AS di Asia Tenggara.
Patut dicatat, di awal 2015 pun Barat juga menilai bahwa di Asia sedang terjadi restrukturisasi dominasi politik akibat menguatnya pengaruh dan peranan Cina. Ini ditandai dengan penolakan Cina atas penyelesaian konflik Laut Cina Selatan berpola multilateral sebagaimana digagas AS. Cina bersikukuh pada pola bilateral, yakni cukup dengan Filipina dan tidak perlu negara-negara lain terlibat.
Saat kapal Cina melintas di Laut Natuna, Jakarta bersikap, Cina hanya menyelusuri ikannya yang melintas ke laut Natuna.
Alih perhatian ke Beijing ini yang membuat tiga kali misi diplomasi Jakarta ke Washington gagal. Pertama sebelum Pilpres 2019. Dari Jakarta diutuslah seorang petinggi untuk menjumpai Menlu AS Mike Pompeo.
Pompeo tidak berhasil ditemui, tapi utusan mendapat pesan bahwa Jakarta diragukan niat baiknya menjaga hubungan hangat dengan Washington.
Tidak puas dengan jawaban ini, Jakarta kembali mengutus petinggi guna mendapat akses ke orang nomer satu di Gedung Putih. Lagi-lagi yang berhasil ditemui adalah Jared Kushner yang merespon sikap utusan sebagai, ”I don’t believe you.”
Jakarta tak kecil hati dan putus harapan, terutama setelah matinya 700 lebih petugas KPPS pada Pilpres 2019 yang tidak menjadi pemberitaan media asing. Sirnanya peristiwa ini dari kekuasaan. Ternyata tidak demikian.
Utusan Jakarta pada misi ketiga yang hanya dijumpai Ivanka Trump dan isteri Jared Kushner, juga menilai Jakarta sebagai lack of credibility, lack of certainty, dan lack of compliance. Gegap gempita pembangunan infrastruktur melulu hanya perburuan popularitas semu.
Maka Jakarta pun mendapat penghargaan dari Washington dari posisi Emerging Market menjadi negara maju. Penghargaan yang sebenarnya lebih merupakan vonis ini datang setelah Jakarta salah satunya karena dianggap gagal memenuhi target fiskal dan buruk dalam penegakan hukum
Vonis naik kelas itu ternyata tidak menyenangkan. Saat Jakarta sibuk menghadapi “serangan” Covid 19 dengan kebutuhan ventilator yang tinggi, AS justru melarang ventilator dibawa dari New Zealand ke Indonesia.
Baru setelah Jakarta kembali ke IMF dalam masalah pendanaan Covid-19, Barat memandang Jakarta sedikit menarik kekuatan pendulumnya ke Washington. Maka terbitlah pengakuan Presiden AS ke 45 Donald Trump kepada Joko Widodo sebagai, “we are friend.”
Sayangnya pengakuan ini kurang memberi arti di tengah Trump sendiri dihempas berbagai badai. Dari gagalnya pemakzulan terhadap dirinya, sengitnya perang ekonomi dengan Cina, demonstrasi karena rasialisme dan ketimpangan, Trump juga menghadapi tudingan koran Wall Street Journal bahwa pada Pemilu AS 2016 ia menerima donasi dari sejumlah pengusaha Cina.
Situasi ini mendukung kegagalan diplomasi Jakarta ke Washington, bahkan tidak jelas mengarah ke mana setelah Menlu AS Mike Pompeo menyebut Indonesia termasuk negara yang terancam partai komunisme Cina.
Memang tidak mudah menakhodai kapal di antara dua batu karang di tengah badai mendera. Indonesia butuh nakhoda yang handal, akuntabel, dan bernyali.
Oleh Pengamat Hubungan Internasional, Satria Negara