Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, Akademisi Universitas Bung Karno (UBK).
Kebijakan anggaran pemerintah telah gagal fokus dalam penanganan pandemi. Baik dalam hal serapan anggaran, maupun dalam hal alokasi anggaran.
Dalam paparan APBN Kita tanggal 21 Juli 2021, Kementerian Keuangan melaporkan realisasi Belanja Negara secara umum sudah mencapai 42,5 persen atau sebesar Rp 1.170 triliun.
Dari jumlah tersebut, anggaran untuk penanganan kesehatan hanya terealisasi 25,2 persen atau sebesar Rp 54,1 triliun (dari total rencana Rp 214,9 triliun). Sangat tragis!
Serapan anggaran pada sektor kesehatan, sektor yang paling harus didahulukan saat ini, malah paling rendah di antara sektor lainnya di bawah anggaran PEN.
Di bawah program PEN, realisasi anggaran Insentif Usaha sudah 71 persen (Rp 45 triliun), anggaran Program Prioritas 37 persen (Rp 44,4 triliun), anggaran Perlindungan Sosial 43% (Rp 82 triliun), dan anggaran Dukungan UMKM dan Korporasi 37,7 persen (Rp 44,4 triliun).
Berdasarkan besaran, serapan anggaran untuk penanganan kesehatan sebesar Rp 54,1 T juga hampir dikalahkan oleh serapan anggaran belanja infrastruktur Kementerian PUPR yang sudah mencapai Rp 53 triliun (serapan 38 persen).
Melihat realita ini, tampak pemerintah mengalami gagal fokus mendahulukan sektor kesehatan. Wajar bila saat ini banyak kasus tenaga kesehatan di berbagai daerah mengeluh karena telat dibayar pemerintah.
Ini sungguh mengecewakan.
Para tenaga kesehatan yang seharusnya diprioritaskan dalam aspek serapan anggaran, malah seperti dianaktirikan.
Anak kandung pemerintah tetaplah program infrastruktur dan program ekonomi lainnya. Pemerintah sendiri yang mengakui (APBN Kita Juni 2021), bahwa terjadi pertumbuhan yang pesat dalam kinerja realisasi belanja modal.
Realisasi hingga akhir Mei 2021 saja sudah Rp 59,3 triliun atau tumbuh 120 persen dari tahun lalu. Pertumbuhan pesat dalam belanja modal ini menurut pemerintah dipengaruhi pembayaran dan percepatan proyek infrastruktur dasar/konektivitas yang tertunda tahun 2020, serta pengadaan peralatan dan mesin.
Selain soal serapan/realisasi anggaran, gagal fokus juga terjadi dalam hal alokasi anggaran. Terutama bila dibandingkan antara rencana alokasi tahun ini dengan realisasi tahun sebelumnya. Anggaran perlindungan sosial turun tapi anggaran infrastruktur melonjak.
Anggaran untuk perlindungan sosial tahun 2021 dialokasikan sebesar Rp 187,8 triliun. Ini lebih rendah dari realisasi anggaran perlindungan sosial yang terealisasi (audited) tahun 2020 sebesar Rp 230 triliun.
Tapi pada saat bersamaan anggaran infrastruktur untuk tahun 2021 malah melonjak ke Rp 417 triliun, naik 48 persen dari tahun sebelumnya (Rp 281 triliun).
Tidak masuk akal pemerintah masih berharap membangun infrastruktur di saat penambahan kasus harian Covid-19 masih sangat tinggi.
Saat ini penambahan kasus harian masih di kisaran 30 ribu hingga 50 ribu dan kematian harian rata- rata di atas 1000-an jiwa.
Pandemi masih belum selesai, masih sangat banyak masyarakat yang memerlukan penanganan pemerintah. Tapi kita tahu pemerintah menghindari tanggung jawab ini. Akibatnya tentu masyarakat marah.
Kemarahan masyarakat di era PPKM darurat ini terjadi disebabkan pemerintah tidak benar-benar melaksanakan UU Karantina Kesehatan No 6/2018. Masyarakat dipaksa melakukan karantina, disuruh diam di rumah, tapi selama proses karantina tersebut tidak dibantu pemerintah. Wajar bila suara masyarakat ada yang memplesetkan PPKM singkatannya menjadi “Pelan Pelan Kami Mati”.
Pemerintah pusat lah yang seharusnya paling bertanggung jawab atas keselamatan warganya selama karantina, karena di UU Karantina Kesehatan, pada pasal 52 ayat (1) disebutkan: “Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”
Sehingga bila benar-benar ingin dikatakan fokus penanganan Pandemi, pemerintah seharusnya melaksanakan amanat UU Karantina Kesehatan. Segera membiayai masyarakat yang terdampak.
Jangan lagi pemerintah bilang tidak ada dana. Sederhana: tunda alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur, dan alihkan untuk membiayai amanat pasal 52 ayat (1) dari UU Karantina Kesehatan tersebut.
[***]