ENTAHÂ kapan Perdana Menteri Shinzo Abe mengirimkan undangannya kepada Presiden Joko Widodo untuk hadir di KTT G-7 di Ise- Shima, Nagoya, Jepang, pekan ini.
Undangan itu sangat istimewa. Sebab Presiden RI berstatus tamu tapi justru diminta sebagai pembicara utama. Ini berarti forum G-7, sangat menghargai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan RI tersebut.
Sisi lain yang menarik, undangan tuan rumah Jepang tersebut memperlihatkan Jepang secara diam-diam berupaya kuat agar Indonesia jangan sampai terlalu dekat dengan RRT dan Rusia.
Kiblat Indonesia dalam politik luar negeri dan investasi, hendaknya tidak beralih ke poros RRT dan Rusia.
Jika Indonesia menjadi lebih dekat dengan dua negara tersebut, setidaknya hal ini bisa merupakan sebuah kekalahan Jepang dalam persaingan. Sebab RRT terutama merupakan saingan terdekat Jepang, sedang Rusia untuk jangka panjang.
Negeri Sakura ini juga merupakan salah satu investor tertua di Indonesia. Kegiatan investasi Jepang di Indoneia dimulai tahun 1968, bersamaan dengan diberlakukannya pertama kali UU Penanaman Modal Asing di Indonesia.
Ketika Jepang memulai investasinya di Indonesia, di saat itu RRT justru merupakan salah satu negara yang paling dimusuhi oleh Indonesia. Jadi kalau tiba-tiba di tahun 2016, di era Joko Widodo, RRT menyisihkan Jepang, justru kejadian ini merupakan hal yang janggal.
G-7 atau Kelompok Tujuh yang terdiri atas Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Itali, Prancis, Inggeris dan Jerman, mewakili 64% kekyaaan bersih global atau setara dengan $263 triliun.
G-7 sejauh ini dikenal sebagai kartel negara industri yang berusaha mendominasi dunia. Dalam berbagai kebijakannya, hampir sulit menemukan penjabaran policy-nya yang bersedia merangkul negara-negara lainnya, apalagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Oleh karena itu dibukanya pintu KTT G-7 bagi Presiden RI, merupakan sebuah peristiwa yang tak bisa dilihat sebagai hal yang tanpa maksud.
Pada tahun 1993, Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Non-Blok (GNB) berusaha masuk ke forum KTT G-7 yang saat itu digelar di Tokyo.
Dengan status membawa mandat atau pesan 110 negara anggota GNB bagi G-7, Presiden RI tersebut, berusaha berbicara di forum KTT G-7, Jepang. Presiden Soeharto tak berhasil, sekalipun saat itu Presiden RI sudah berada di Tokyo bersama dengan rombongan yang relatif cukup besar. Yang diterima G-7 hanya Presiden Rusia, Boris Yeltsin.
Tapi cara Jepang atau anggota G-7 menolak Persiden RI masuk ke forum KTT, dilakukan secara bermartabat.
Konsep yang dibawah Presiden Soeharto yang mengatas namakan kepentingan negara-negara anggota GNB, tetap diterima. Tetapi acara penerimaan dilakukan di luar forum KTT G-7.
Presiden Soeharto diberi waktu bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Keichi Miyazawa. Pertemuan mereka dilakukan di kediaman resmi Miyazawa, bukan di tempat penyelenggaraan KTT G-7. Waktunya pun dilaksanakan sebelum KTT dibuka resmi pada pukul 10.00 pagi waktu Tokyo.
Untuk lebih menghargai Presiden Soeharto, sebelum kembali ke tanah air, Presiden Soeharto diterima oleh Presiden AS Bill Clinton, di kediaman Dubes AS untuk Jepang.
Jadi Presiden Soeharto tak sempat menyaksikan pembukaan KTT G-7, sekalipun hanya melalui siaran langsung televisi. Ketika KTT dibuka oleh PM Keichi Miyazawa, Presiden Soeharto dan rombongan sudah berada di dalam perut pesawat kepresidenan Garuda, menuju Jakarta.
Sementara semua media atau wartawan Indonesia yang meliput kunjungan Presiden Soeharto ke Tokyo, wajib melaporkan skenario Sekretariat Negara RI pada waktu itu. Bahwa usulan Presiden RI selaku Ketua GNB kepada negara-negara G-7, sudah diterima dengan baik. Tanpa boleh menyebut bahwa Presiden Soeharto ditolak hadir oleh anggota G-7.
Oleh sebab itu, urgensi kehadiran Presiden Joko Widodo di KTT G-7 di Jepang tahun ini, perspektifnya perlu dibandingkan dengan situasi KTT G-7 23 tahun lalu.
Status Indonesia 23 tahun lalu yang berada di blok netral, tidak disukai oleh negara-negara Barat yang semuanya berada di G-7.
Keadaan Indonesia saat ini yang relatif tidak punya posisi tawar yang kuat terhadap Barat, tetapi mulai mendekat ke RRT dan Rusia – dua negara yang sangat dimusuhi Barat, juga menjadi kajian oleh berbagai pihak.
Setidaknya bisa disimpulkan bahwa lawatan Presiden Joko Widodo pekan ini ke Jepang, perlu dilihat sebagai perjalanan yang sangat berarti. Perjalanan ini bisa disamakan dengan pertarungan memperebutkan posisi dan keseimbangan global.
Seluruh rakyat Indonesia, tak peduli waktu Pilpres 2014 lalu tidak memilih Joko Widodo, sudah sepatutnya ikut melihat perjalanan Presiden ke Jepang, sebagai sebuah lawatan penting. Terutama adanya suasana yang menghargai dan memperhitungkan posisi Indonesia.
Kesempatan yang diberikan G-7 (Group of Seven) kepada Presiden RI untuk menjadi pembicara utama dalam Pertemuan Puncak Tujuh Negara Termaju di Dunia ini, perlu diartikan sebagai sebuah pengakuan atas pentingnya Indonesia dalam persaingan global.
Dunia tidak hanya melihat status Indonesia sebagai sebuah negara yang terus dilanda krisis politik dan ekonomi. Dunia juga tetap memperhitungkan posisi strategis Indonesia.
Sekalipun Indonesia tetap dengan berbagai ketertinggalan, tetapi oleh negara industri masih dianggap memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan.
Masalahnya terpulang kepada bangsa Indonesia sendiri – apakah masih mau berusaha maju dan keluar dari krisis atau terus berkelahi tanpa akhir.
Undangan G-7 kepada pemimpin Indonesia menunjukkan,
cara pandang negara kreditor terhadap Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo, berbeda 180 derajat dengan pihak yang beroposisi atau yang apriori tidak suka terhadap rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Bahwa RI masih atau tengah menghadapi krisis ekonomi yang berat, merupakan sebuah realita. Krisis berat – dengan hutang ribuan triliun, juga merupakan fakta.
Tapi realita dan fakta itu tak bisa dicampur adukkan begitu saja dengan potensi Indonesia sebagai negara yang kedudukan geopolitiknya di dunia, sangat strategis.
Undangan PM Jepang kali ini patut diartikan sebagai sikap seluruh anggota G-7. Dan pada hakekatnya G-7, sedang menghalangi Indonesia agar tidak terpengaruh oleh tarikan RRT dan Rusia.
Secara konseptual dua negara ini sudah membentuk kartel yang dikenal dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa).
BRICS berusaha mencegah terus mendominasinya G-7 dalam ekonomi global. BRICS juga berusaha menghapus penggunaan mata uang dolar Amerika sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah secara global.
BRICS dengan inisiatif RRT, juga sudah membentuk AIIB (Asian Infrastucture Investment Bank). AIIB dimaksudkan untuk mencegah terus meluasnya peranan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank).
Bagi RRT, semua lembaga keuangan yang disebut paling akhir ini, terbukti tidak menjadikan negara-negara dunia ketiga yang mereka bantu, menjadi makmur. Justru mereka terjerumus dalam lilitan hutang dan tertular oleh penyakit korupsi.
Nah AIIB hadir dengan semboyan membangun tanpa korupsi. Di AIIB, negara pendirinya RRT, menempatkan teknokrat Indonesia sebagai salah satu personel penting.
Semua gerakan dan perkembangan ini dipantau dicatat oleh Jepang dan G-7.
Itu sebabnya geliat Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang mulai membuka pintu bagi RRT dan Rusia, menjadi sebuah kecenderungan yang membahayakan bagi Jepang khususnya dan G-7 pada umumnya.
Dari perspektif inilah kita perlu melihat lawatan Presiden Joko Widodo ke Jepang yang berakhir Jumat 27 Mei 2016 ini.
Oleh Jurnalis Senior Derek Manangka