KedaiPena.Com – Isu kebijakan naiknya Cukai Rokok dan berpengaruh terhadap harga rokok yang mencapai Rp50 ribu per bungkus dalam waktu dekat agaknya terus merebak dan menjadi pembicaraan hangat di tengah-tengah publik.
Kalangan buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumut tampaknya menanggapi serius wacana itu. Buruh bahkan merespon wacana itu dengan penolakan keras, dengan alasan akan menurunkan daya beli masyarakat.
“Industri rokok akan menurunkan jumlah produksi rokok dan berujung ancaman PHK besar-besaran pekerja di industri rokok. Apalagi 80% pekerja di industri rokok adalah pekerja outsourcing yang sudah puluhan tahun bekerja dan rentan PHK. Buruh setuju pertimbangan kesehatan menjadi prioritas, tetapi setiap kebijakan pemerintah harus komprehensip yang juga harus mempertimbangkan soal ketenagakerjaan,†ujar Ketua DPW FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo kepada KedaiPena.Com, Senin (22/8)
Alasan selanjutnya, kata Willy, ditengah perlambatan pertumbuhan ekonomi, bertambahnya lebih 800 ribu orang miskin, dan naiknya angka pengangguran, menaikkan harga cukai rokok akan menambah angka pengangguran baru terhadap 4,7 juta buruh industri rokok dan 1,2 juta petani tembakau.
“Apakah pemerintah sudah menyiapkan lapangan kerja yang baru dan kebijakan diversifikasi baru buat petani tembakau? Pemerintah jangan hanya mau enak dan gampangnya saja mendapat dana tambahan cukai rokok tapi tidak memikirkan nasib buruh industri rokok dan petani tembakau yang akan makin suram masa depan anak dan keluarganya?†kata Willy.
Willy menambahkan, pihaknya tidak percaya bahwa kenaikan cukai rokok ini akan digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan anggaran kesehatan. Terbukti, dimana sejak dulu KSPI – FSPMI mengusulkan agar dana cukai rokok digunakan untuk meningkatkan anggaran dan memperluas jumlah peserta JKN-KIS peserta PBI BPJS Kesehatan untuk orang miskin termasuk buruh penerima upah minimum, tapi tidak pernah disetujui.
“Jangan-jangan kebijakan menaikkan harga rokok (dana cukai rokok ratusan triliun) hanyalah akal-akalan untuk menutupi kegagalan implementasi tax amnesty demi menambal defisit APBN,†beber Willy.
Mahalnya harga rokok legal, sambung Willy tidak akan berhasil menekan tingkat konsumsi perokok. Sebaliknya, kata Willy, akan memunculkan rokok selundupan dan rokok illegal yang dijual murah. “Kita tahu pengawasan pemerintah lemah dan “mental koruptor birokrat-birokrat yang masih kuat,†tandasnya.
Alasan terakhir penolakan itu, masih kata Willy, yakni dimana kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga rokok sama saja dengan ‘menghisap darah rakyat kecil’ demi menaikkan pendapatan triliunan cukai rokok.
“Karena mereka (rakyat kecil-red) adalah jumlah perokok terbesar. Oleh karena itu KSPI berpendapat, bukan menaikkan harga rokok tapi memperkuat pendidikan dan kampanye tentang bahayanya merokok terutama dikalangan generasi muda serta menaikkan sebesar-besarnya pajak penghasilan para pengusaha industri rokok. Faktanya, penguasa rokok adalah orang terkaya nomor 1 dan 2 di Indonesia, sementara buruhnya dibayar dengan upah buruh murah dan mempekerjakan 80% buruh outsourcing,†katanya.
(Dom)