KedaiPena.Com- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen atau Formappi, Lucius Karus menilai,
ada keanehan dibalik munculnya suara keberatan atau menolak dari beberapa Fraksi di DPR atas rencana pembahasan RUU Pemilu.
Pasalnya, kata Lucius sapaanya, proses pembahasan RUU Pemilu sendiri kini sudah pernah sampai ke Baleg untuk proses harmonisasi.
“Keberatan tersebut nampak aneh mengingat usulan revisi UU Pemilu itu datang dari DPR. Usulan itu pun sudah disepakati di Badan Legislasi ketika menetapkan Prolegnas Prioritas walaupun sampai sekarang daftar RUU Prioritas itu belum juga disahkan pada tingkat Paripurna,” kata Lucius dalam keterangan, Jumat, (29/1/2021).
Lucius menambahkan, revisi UU Pemilu selalu atas dasar kalkulasi politik partai-partai menjelang Pemilu. Bukan atas evaluasi substantif UU Pemilu yang sudah ada.
“Kan kalau pikiran yang menganggap UU yang ada sekarang masih memadai, kenapa dasarnya baru sekaran. Lagian emang pada revisi-revisi terdahulu alasannya karena UU Pemilu yang mau direvisi memang tak memadai? Pasti bukanlah. Bukan soal bahwa UU Pemilu yang lama sudah tak memadai, tetapi lebih pada pertimbangan kalkulasi politik pragmatis dalam mempersiapkan dan mengantisipasi Pemilu yang akan diselenggarakan,” tegas Lucius.
Lucius mengaku, tidak mengherankan jika isu-isu krusial yang dibahas terkait dengan persoalan teknis yang terkait langsung dengan urusan hidup mati partai politik.
“Mulai dari Presidential Threshold, Parliamentary Threshold, Dapil, Sistem pemilu, hingga bagaimana metode penghitungan suara. Isu-isu itu sangat teknis dan pragmatis. Dan sangat kecil relevansi perubahan teknis itu dengan soal demokrasi substantif,” papar Lucius.
Dengan demikian, Lucius menduga suara penolakan di DPR khususnya Komisi II muncul karena bayang-bayang ketakutan atas skenario yang mungkin akan ditetapkan dalam UU Pemilu baru.
“Yang bisa saja menurut kalkulasi partai akan mengancam mimpi indah mereka untuk memenangi Pilpres dan mendudukkan wakil di parlemen,” kata Lucius.
Lucius memandang, bayang-bayang ketakutan itu diekspresikan melalui utak-atik soal keserentakan Pemilu yang sejauh ini sudah ditentukan akan diselenggarakan pada 2024.
“Kalkulasi politik dengan skenario pemilu serentak mungkin dianggap paling menguntungkan mereka yang menolak wacana mengembalikan Pilkada pada tahapan normalnya sehingga tetap berlangsung di 2022 dan 2023,” ungkap Lucius.
“Pilkada 2022 dan 2023 tetap terselenggara, maka momentum itu bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berkepentingan mendapatkan panggung pemanasan menjelang Pilpres,” tambah Lucius.
Lucius menegaskan, ketakutan terhadap hadirnya pesaing di Pilpres 2024 yang mau memanfaatkan panggung Pilkada 2022 dan 2023 sebagai ajang membangun kekuatan.
“Ketakutan-ketakutan itu membuat mereka merasa revisi UU Pemilu bisa saja menjadi pintu masuk untuk merubah skenario pilkada serentak sekaligus membuka ruang bagi skema pilkada 2022 dan 2023,” beber Lucius.
Lucius menegaskan, padahal jika tanpa Pilkada sebelum 2024, pihak-pihak yang sudah berambisi memenangi Pilpres bisa fokus bagaimana menjegal lawan potensial.
“Yang salah satunya dengan menggusur panggung yang bakal digunakan sebagai ajang konsolidasi kekuatan sejak 2022 mendatang. Ketakutan itu sesungguhnya yang melatari kenapa muncul keberatan mendadak untuk merevisi UU Pemilu,” tandas Lucius.
Laporan: Muhammad Hafidh