KedaiPena.Com – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dengan tegas menolak program pengampunan pajak atau tax amensty jilid II yang tertuang dalam Fancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). RUU HPP telah disepakati di DPR untuk dibawa ke sidang paripurna dalam waktu dekat ini.
Bagi Fitra konsep Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Paja hampir sama dengan Tax Amnesty (TA) tahun 2016 dimana orang yang selama ini tidak membayar pajak diberikan kesempatan untuk melaporkan dan dikenakan tarif khusus. Bahkan di kebijakan yang baru tarifnya bisa lebih besar yaitu mencapai 12,5% hingga 30%.
“Jika kita mengevaluasi Tax Amnesty tahun 2016, tindak lanjut dari pelapor (Wajib Pajak luar negeri) masih lemah. Sebab, berdasarkan Risalah Rapat DPR RI saat itu menyebutkan tujuan TA adalah menarik kembali dana Rp11.300 triliun milik WNI yang diparkir di luar negeri,” kata Sekjen Fitra Misbah Hasan, Jumat, di Jakarta, (1/10/2021).
Fitra juga memandang, ketika kebijakan tersebut diimplementasikan, justru repatriasi dana WNI di luar negeri tidak maksimal sama sekali. Contohnya dana WNI di Singapura tidak berhasil ditarik karena negara tersebut tidak punya perjanjian ekstradisi.
“Selain itu, posisi tawar pemerintah begitu lemah untuk menarik dana yang terparkir di luar negeri, hal ini diakibatkan dari lemahnya aspek perjanjian bilateral dan politik bilateral. Alih-alih menarik kembali dana WNI di luar negeri, Tax Amnesty malah menyasar ke Wajib Pajak dalam negeri dari mulai UMKM sampai pensiunan. Sehingga bisa dikatakan jika program ini diberlakukan lagi maka akan berpotensi tidak efektif dan cenderung memberikan karpet merah bagi pengemplang pajak,” papar Misbah.
Fitra pun menegaskan, jika pemerintah melakukan kebijakan tersebut maka pemerintah akan menurunkan citra di mata wajib pajak yang lainnya, apa lagi jarak antara TA 2016 dengan program ini relatif dekat.
“Pemerintah akan dinilai tidak serius dan tidak memiliki peta jalan terkait perpajakan karena tahun setelah Tax Amnesty 2016 seharusnya dijadikan momentum kepatuhan pajak, bukan mendiskon pajak besar-besaran,” ungkap Misbah.
Terlebih, tegas Misbah, tidak ada mekanisme screening dan pengawasan yang diatur dalam RUU HPP ini, sehingga rentan terhadap pelaporan harta hasil pencucian uang, hasil kejahatan, atau asset hasil penghindaran pajak lintas negara.
“Kebijakan tersebut berpotensi membuat proses hukum pajak yang berjalan menjadi tertunda dan bertentangan dengan filosofi pajak itu sendiri,” papar Misbah.
Misbah menegaskan, jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, maka sebaiknya memanfaatkan data _Automatic Exchange of Information_ (AEOI) untuk mendongkrak pendapatan negara dari luar negeri.
“Alih-alih menerapkan TA jilid II, pemerintah seharusnya mulai mengumumkan para pengemplang pajak ke publik, sehingga ada keadilan bagi wajib pajak yang patuh. Dan pada akhirnya, dapat meringankan beban defisit APBN,” papar Misbah.
Misbah menekankan, selain itu kebijakan ini dibahas secara tertutup dari publik sehingga patut dicurigai merupakan kepentingan publik atau elit politik.
“Program TA merupakan program jangka pendek untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, sedangkan untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka panjang adalah dengan cara meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan perluasan basis data perpajakan,” tandas Misbah.
Laporan: Muhammad Lutfi