Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, S.H.,Advokat, Tim Advokasi Bela Ulama Bela Islam.
Suatu ketika, Jaksa kehabisan pertanyaan kepada saksi yang dihadirkan dalam persidangan. Bahkan, setiap jawaban dari saksi yang mayoritasnya Napiter dan mantan Napiter, justru meringankan Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung al Hammat.
Saking bingungnya mengaitkan para ustadz dengan sejumlah kejadian teror bom, dari bom Bali hingga bom Thamrin, tiba-tiba jaksa (yang saat itu perempuan berkerudung) ngotot mengajukan pertanyaan, yang kurang lebih demikian:
“Apakah Saudara saksi tahu, gerakan jihad global yang berdampak pada sejumlah peristiwa terorisme, seperti sejumlah peledakan bom di tanah air?”
Segera saja saya menyergah, dengan mengajukan interupsi.
“Interupsi majelis hakim, pertanyaan jaksa menggiring dan memiliki muatan tendensius terhadap ajaran Jihad dalam agama Islam”
Segera saja, hakim meminta jaksa untuk mengalihkan pada pertanyaan lainnya. Nampak muka jaksa terlihat kecut, sejumlah hadirin sidang mengomentari jaksa dengan kompak meneriakan kata “huuuu”.
Saya sadari, sejak awal kasus ini memang dipaksakan. Kasus terorisme, tapi kenapa materi pemeriksaannya:
1. Sejumlah ceramah dakwah yang dilakukan para ustadz.
2. Sejumlah nomenklatur ajaran Islam dari Iman, Akidah, hijrah, dakwah, Jihad, Syariah, Khilafah, Mua’hadah, Bai’ah, dan seterusnya.
3. Kegiatan dakwah para ustadz dalam ormas keagamaan, dan seterusnya.
Barang bukti yang dihadirkan juga tak terkait dengan terorisme. Sejumlah buku-buku yang dimiliki ustadz, yang juga banyak dijual bebas, dipaksakan menjadi barang bukti.
Saya fikir, barang buktinya bom, bubuk mesiu, granat, pistol, mesin serbu, pedang, parang, tombak, panah dan senjata mematikan lainnya. Saya fikir, materi pertanyaannya seputar rencana ngebom istana, membunuh presiden, mensabotase bandara, menculik kapolri, dan yang semisalnya.
Benar-benar fitnah keji dan sangat jahat, menjadikan kegiatan dakwah para ustadz sebagai tindak pidana terorisme. Terorisme, benar-benar fitnah besar bagi umat Islam.
Dampak dari terorisasi para ustadz ini, luar biasa destruktif. Sejumlah murid-murid dan jama’ah yang selama ini mendapat kucuran ilmu dari para ustadz, menjadi terhalang dari kebaikan ilmu karena kasus ini. Anggota keluarga para ustadz, yang biasa membersamai para ustadz, karena para ustadz di penjara.
Publik dibuat takut dengan ceramah agama, dakwah, syariah, jihad, khilafah, dan seterusnya.
Dan dalam narasi tuduhan pendanaan terorisme, dimana densus 88 menyita 791 kotak amal zakat, infak dan sedekah, masyarakat dibuat ragu dan takut untuk beramal. Kalau memberikan sedekah ragu dananya dikelola dengan tidak amanah. Kalau memberikan sedekah, takut uangnya digunakan untuk mendanai kegiatan terorisme.
Pada kasus ACT juga sama. Saat pemberitaan media, ramai dinarasikan cuci uang, PPATK memblokir sejumlah rekening ACT. Begitu masuk sidang, tidak ada pasal TPPU nya.
Framing jahat pada ACT telah membuat masyarakat ragu dan takut menyumbang ke Yayasan sosial yang sebenarnya sangat membantu umat. Masyarakat dicekoki fitnah, yang tak pernah dapat dibuktikan di pengadilan.
Sebenarnya, kalau penyidik taat asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), semestinya saat menyidik Densus fokus untuk membawa perkara ke persidangan. Bukan sibuk rilis ke media dengan fitnah yang tak pernah dapat dibuktikan di pengadilan.
Lagipula, didalam KUHAP tak ada tahapan rilis ke media. Setelah disidik, penyidik berkewajiban membawa perkara ke jaksa untuk diadili perkaranya di pengadilan. bukan diedarkan materinya ke media.
Namun densus gemar melakukan sejumlah ‘trial by a press‘, menghakimi para ustadz melalui rilis media. Setelah tidak terbukti di persidangan, tidak ada klarifikasi dan permintaan maaf dari densus 88, yang sebelumnya merilis fitnah yang keji, yang diedarkan ditengah masyarakat.
Terorisme faktanya hanya fitnah. War On Terorism, sejatinya adalah War On Islam. Tidakah umat ini bangkit, setelah semua ini nyata terjadi? atau mau menunggu korban terorisasi lebih banyak lagi? Wallahu a’lam.
[***]