Artikel ini ditulis oleh Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Dahsyat! Firli Bahuri, ketua KPK yang pernah bermasalah dengan “buku merah” ngotot mau tersangkakan Anies. Publik bertanya siapa yang menyuruh Firli Bahuri ini? Siapa “the invisible hand-nya?” Siapa sosok di balik Firli Bahuri?
Firli saat ini harus menanggung risiko sendirin. Berhadapan dengan para pegawai KPK yang tidak terima dan protes atas pemecatan terhadap sejumlah penyidik senior mereka. Firli juga dihujat publik karena dianggap ikut terlalu aktif bermain politik praktis.
Hanya satu tujuan atas pemecatan terhadap para penyidik senior yaitu tersangkakan Anies melalui kasus Formula E. Vulgar, terang-terangan dan gak peduli risiko hukum dan politiknya. Nalar hukum jadi berantakan.
Ketika hukum dijadikan peluru kekuasaan, ketika hukum dijadikan alat sandera, dan ketika hukum digunakan sebagai sarana untuk menghabisi langkah musuh, maka bersiap-siaplah untuk menunggu ledakan yang akan berpotensi memporak-porandakan negeri. Hanya tinggal menunggu momentum dan waktu. Itulah hukum sosial dan politik.
Publik tahu siapa di balik Firli. Operasinya atas ijin dan perintah siapa. Sebab, kenekatan firli yang ngotot ingin mentersangkakan Anies akan menghadapi risiko besar. Karena itu, butuh kekuatan besar. Firli tidak akan berani ambil risiko tanpa dukungan kekuatan yang besar. Ada orang-orang besar di belakang Firli. Firli, boleh dibilang, hanya operator. Kebetulan ia adalah ketua KPK.
Dalam proses menuju “kasuisasi Formula E” ada tim pemantau yang terus mengkalkulasi dampak sosial-politiknya. Mereka terdiri dari orang-orang terlatih yang sangat profesional membidangi ilmu “social movement” dan “transformasi sosial”. Mereka hitung dengan cermat, kira-kira kalau Anies tersangka, seberapa besar ledakannya.
Ini hukum menang kalah. Tidak ada lagi obyektifitas. Tidak ada lagi integritas sebagai penegak hukum. Kalkulasi politik lebih dominan. Kalau ledakan bisa dikendalikan, maka operasi Formula E dijalankan. Jika ledakan akan besar, bisa jadi operasi “kriminalisasi” diurungkan.
Nah, situasi sosial itu dinamis. Seringkali “unpredictable”. Tidak terduga. Dikira bisa terkendali, tapi muncul variable lain yang tidak terkalkulasi. Maka, terjadilah ledakan. Kalau menggunakan istilah Karl Marx, situasi Indonesia sedang menuju ke arah yang lebih matang untuk meledak. Mungkin ini yang disebut oleh Jonathan Turner, bahwa situasinya sedang dalam tahap kedelapan. Menuju tahap kesembilan yaitu ledakan.
Ini konsekuensi ketika penguasa mengendalikan segalanya. Seperti api dalam sekam. Rakyat lelah, lalu marah. Kemarahan yang tertahan akan meledak setiap saat ketika ada trigger. Maka, sejumlah elit yang menunggu ledakan itu sedang menyusun sekenarionya. Mereka yang akan muncul, dan tampil untuk memimpin gerakan itu. Inilah hukum yang berlaku di setiap sejarah.
Anies Baswedan didaulat sebagai tokoh oposisi. Penguasa sendiri yang terus mendorong dan memposisikan Anies sebagai tokoh oposisi itu. Hajar sana-sini, jegal sana-sini, semua itu telah meneguhkan posisi Anies sebagai tokoh oposisi. Maka, semua rakyat yang tidak puas dengan penguasa, bergabung dan mendukung Anies. Ratusan simpul relawan yang lahir secara suka rela adalah bentuk nyata atas dukungan itu. Anda bisa bayangkan jika Anies dikriminalisasi. Anies dipaksa jadi tersangka dengan kesalahan yang direkayasa. Terkait dengan ini, sejauhmana kesiapan para pendukung Anies? Sekuat apa mereka mengkonsolidasikan diri dalam massa besar dan melakukan perlawanan? Apakah akan berhadap-hadapan antara dua massa besar yang saling menyerang dan menikam? Semoga ini tidak pernah terjadi.
Di sisi lain, ada pihak-pihak yang sedang menunggu trigger agar terjadi ledakan. Mereka sabar menunggu kapan trigger datang, lalu tinggal meledakkan. Itulah satu-satunya panggung yang tersisa bagi mereka.
Negara ini telah dipertaruhkan untuk sebuah permainan kalah menang. Jika terjadi ledakan, sejarah akan mencatat yang kalah akan dihabisi, dan yang menang akan berkuasa. Korban bisa terlalu besar. Begitu juga dampaknya untuk negeri ini. Pedih!
Firli hanya operator. Pemain yang sesungguhnya akan menanggung risikonya. Jika menang, maka kekuasaan akan terus melenggang. Siapapun yang kalah, nasibnya bisa mengenaskan. Kalah-menang, rakyat dan negara jadi korban. Lalu, dimana jiwa kenegarawanan itu sekarang berada?
[***]