JIKA dibandingkan dengan kampanye di dunia politik selama ini, baik di Indonesia maupun di luar negeri, biasanya melalui daya tarik popularitas tokoh sentralnya. Seperti Trump di AS dan Erdogan di Turki. Massa hadir karena tertarik bertemu dan mendengarkan tokohnya.
Di Indonesia tokoh yang tidak percaya diri, mereka dibantu dengan daya tarik para artis terkenal. Bahkan tidak satu tapi puluhan artis jika bisa disesuaikan dengan kocek panitia, dengan harapan fans dari para artis tersebut bisa hadir.
Mungkin saja kehadiran fans bukan untuk mendukung capres yang sedang dikampanyekan, mereka hanya ingin jumpa, lihat, dengar, dan selfie bersama artis favorit mereka.
Kehadiran fans artis bercampur dengan massa yang dimobilisir oleh para petinggi koalisi partai. Para elit partai pendukung harus pula mengeluarkan kocek cukup tebal untuk tranportasi, konsumsi, honor, seragam kaos dan alat peraga lainnya, para elit partai terpaksa harus puter otak untuk menyediakan kebutuhan tersebut.
Sehingga yang jadi sasaran adalah kepala-kepala daerah yang selama ini mereka bantu untuk terpilih, termasuk para direktur, komisaris BUMN yang mendapat kedudukan dari para elit partai.
Tidak heran banyak sekali para eksekutif dan legislatif tingkat pusat dan daerah digelandang oleh KPK ke balik jeruji besi karena mereka harus mengeluarkan dana yang tidak ada di anggaran.
Jika diamati dari pemilu ke pemilu sejak era keterbukaan setelah reformasi, budaya pemilu dalam mengumpulkan massa tidak berubah selalu demikian. Khusus di Indonesia para artis terkenal sudah di DP, terutama artis dangdut laku keras, mereka panen, saking senangnya masyarakat Indonesia dengan musik dangdut.
Ada lagi sesuatu khas di Indonesia para elit harus tebar lembaran uang istilahnya saweran, sehingga massa jadi histeris berebut, walaupun sudah dilarang melalui ketentuan KPU, amplop uang diganti dengan souvenir dan paket lainnya.
Tujuan dari semua itu adalah memobilisasi keramaian dengan berbagai bungkus acara. Yang jadi tujuan adalah kehadiran, tidak penting dukungan keterpilihan. Sehingga makelar pengerahan masa menjadi panen.
Bagi peserta rakyat kecil berganti kaos tidak masalah, kaos seragam partai bisa mereka pakai koleksi untuk jadi pakaian sehari-hari nantinya. Sehingga tidak heran sudah puluhan tahun demokrasi di Indonesia, rakyat selalu menanyakan mana kaos dan mentahnya (istilah untuk duit).
Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno Jakarta pada tanggal 7 April 2019 dengan kehadiran jika ditelisik dari foto udara (drone) luar biasa setiap sudut di lapangan di tribun tidak ada celah yang kosong, sangat mungkin jutaan, termasuk luberan yang berada di luar stadion.
Bukan ketokohan Prabowo yang menjadi sentral berkumpulnya masa rakyat/umat, juga bukan Sandi, serta bukan partai koalisi atau elit. Sesuatu yang baru terjadi memang agak sedikit rumit dijelaskan fenomena dalam kampanye kali ini, perubahan mendasar telah terjadi, ini memecahkan rekor dunia dalam mengerahkan masa umat.
Kampanye pasangan Capres 02 Prabowo-Sandi hanya diberi waktu oleh penyelenggara pemilu di pagi hari dan jam 10.00 harus selesai. Semula saya sebagai pengamat memperkirakan tamat capres 02, karena Hari Minggu di mana rakyat istirahat bermalas-malasan bersama keluarga. Kampanye akan sepi.
Akan tetapi apa yang terjadi adalah, massa umat berdatangan di malam hari, menginap di kendaraan dan di hotel terdekat, mereka sholat Tahajud dan Subuh berjamaah di lokasi. Umat yang begitu banyak tertib bisa dimaklumi dengan kehadiran ratusan ribu bahkan jutaan GBK berubah masjid super raksasa dengan luasan yang luar biasa. Dalam sekejap akan sulit mengatur jamaah dikarenakan tidak sebagai mesjid.
Mereka umat hadir tidak dibayar, merogoh kocek sendiri. Sesuatu yang sulit untuk dimobilisir oleh elit partai seperti budaya pemilu yang berlaku selama ini. Ada euforia tulus yang sangat berbeda. Ada nuansa yang tidak ditutupi oleh citra. Haru-biru ini terasa bukan untuk memenangkan sosok, tapi memenangkan persatuan dan harapan terjadinya perubahan.
Hebatnya Prabowo-Sandi tahu diri tidak menempatkan diri secara heroik, mengaku dan mencitrakan dirinya hebat sendirian, mereka merangkul. Dan sesuatu terjadi beberapa kantong uang yang terkumpul dari jamaah shalat diserahkan kepada Prabowo, ukiran sejarah baru dalam berkampanye terjadi di Indonesia.
Tanpa daya tarik sekumpulan artis, tanpa memobilisir rakyat secara pragmatis oleh para elit, namun jutaan hadir di GBK secara tulus membiayai diri sendiri dan menyumbang. Semoga ini akan menjadi budaya politik yang sehat di Indonesia yang selama ini telah dirusak melalui ‘money politic’ dengan pengumpulan masa tanpa efek elektoral.
Bravo Indonesia dengan kampanye akbar Prabowo Sandi menjadi fenomena baru di Indonesia bahkan di dunia.
Oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78