DISEBUT-SEBUT sebagai proyek terbesar dalam sejarah berdirinya Lippo Group yang dirancang sejak tahun 2014, pembangunan Meikarta telah dimulai sejak Januari 2016.
Proyek yang sempat bikin geger karena iklan dan promosinya heboh di tahun 2017 lalu ini, lokasinya berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi.
Kawasan ini dikelilingi oleh distrik bisnis dan industri, seperti Lippo Cikarang, Jababeka, MM2100, dan sebagainya. Proyek yang diprediksi menelan biaya lebih dari ratusan triliun ini akan menyulap Cikarang seperti Shenzhen, kota pusat bisnis dan manufaktur terbesar di China.
Memang sedari awal Meikarta mega proyek Lippo Group tersebut sudah terbelit sejumlah permasalahan mulai dari tata ruang, perizinan properti, AMDAL, Fasos Fasum.
Mereka juga massif melakukan pemasaran padahal tanpa dukungan izin pembangunan proyek yang belum lengkap dan terancam mangkrak. Akan tetapi pada umumnya pengembang besar seperti Lippo Group, seperti orang sakti di republik ini.
Jadi teringat gaduhnya saat itu ketika Wakil Gubernur Jabar Dedi Mizwar mengatakan bahwa Proyek Meikarta belum ada izinnya. Pemprov Jabar hanya memberikan ijin seluas 84,7 hektar dan kini terlihat terang bahwa akhirnya upaya jalan pintas Grup Lippo kecium KPK. Akhirnya mereka membongkar dugaan suap petinggi Grup Lippo untuk mendapatkan izin membangun di atas lahan seluas 774 hektar.
Tidak lupa juga saat Menko Maritim Luhut B Pandjaitan mengatakan bahwa perijinan Meikarta tidak ada masalah. Kepastian itu disampaikan Luhut saat menjadi pembicara kedua pada seremoni tutup atap dua menara Meikarta yang dikembangkan Lippo Group, di Cikarang, Minggu (29/10/2017).
“Saya tanya Pak James (Riady) mengenai semua masalah perizinan dan kepemilikan tanah. (Dia jawab) semua tidak ada masalah,” kata Luhut persis ketika dia menangani reklamasi Teluk Jakarta Utara yang kini proyeknya ditutup oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga karena cacat perizinan.
Sengkarut persoalan seperti proyek Meikarta adalah fenomena gunung es dalam persoalan agraria di republik ini karena pemerintah dari periode sebelumnya hingga pemerintah Jokowi tidak pernah menjalankan UUPA no 5 tahun 1960 secara komprehensif dalam menangkap spiritnya.
Kita percaya pada prinsipnya semua undang-undang dibuat dengan niat baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat, sehingga tentunya UUPA dan peraturan-peraturan pelaksananya sangat dapat diandalkan sebagai sarana perlindungan hak-hak rakyat ketika ada peluang akan dirugikan dalam sengketa khususnya saat berhadapan dengan penguasa dan korporasi.
UUPA adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak rakyat, namun juga dilingkupi oleh berbagai undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang berupaya menyelewengkan UUPA tersebut.
Karena UUPA adalah hukum yang berkarakter responsif ketika diproduksi oleh Orde Lama, namun ia dilingkupi oleh berbagai undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang diproduksi Orde Baru yang pada umumnya bersifat represif.
Dalam rumusan lain, dinyatakan bahwa UUPA bersifat populis namun dikelilingi oleh peraturan yang bersifat kapitalistik liberal sehingga Pemerintah abai menjalankan peran sebagai pelaksana utama pembangunan nasional. Karena pembangunan kota pada umumnya diambil alih atau diserahkan kepada swasta yang hanya mengejar keuntungan.
Oleh Satyo P, Sekretaris Jenderal Jaringan Aktivis ProDEM