KedaiPena.Com- Anggota Komisi XI DPR RI, Fauzi H. Amro mengatakan, peran Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan hilang dengan keluarnya PP No 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Akibat Dampak Covid-19.
Pasalnya, kata Fauzi, PP yang merupakan turunan Perppu Nomor 1 tahun 2020 mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam menangani pandemi Covid-19, termasuk likuiditas perbankan, dengan ditunjuknya bank jangkar, dalam hal ini Himbara, mengurusi masalah likuiditas perbankan.
“Itu menyalahi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) dan penunjukkan tersebut juga bertentangan dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020,” kata Fauzi, Jumat, (15/5/2020).
Menurutnya, Himbara bukan regulator tapi objek kebijakan, mereka tak boleh masuk sebagai regulator. Penunjukkan tersebut juga bertentangan dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Fauzi menerangkan, dalam UU PPKSK Bab III Pencegahan Krisis Keuangan terutama pasal 16, 17, 18, 19 dan pada bagian ketiga penanganan permasalahan likuiditas bank sistemik sudah sangat jelas yakni lembaga yang berwenang dan diberi tugas mengurusi masalah likuiditas perbankan yaitu BI, OJK dan LPS.
Tak ada satu pasal pun yang menyebut peran Himbara, karena memang Himbara tidak termasuk regulator, tapi objek kebijakan.
“Namun dengan keluarnya PP No 23 Tahun 2020, KSSK seperti mau cuci tangan, tak mau meng-handle urusan likuiditas perbankan. Padahal itu tugas KSSK berdasarkan UU PPKSK dan diperkuat Perppu No 1 Tahun 2020 yang juga menui kontroversi,” ungkap Fauzi.
Fauzi mensinyalir, KSSK sengaja tidak mau terlibat dalam likuiditas perbankan, supaya bisa terbebas dari kasus hukum di kemudian hari. Sebagian anggota KSSK adalah pelaku yang terlibat dalam kasus BLBI dan Century.
“Sekarang mereka mau melindungi diri agar kedepan bisa terbebas dari kasus hukum. Caranya dengan bikin aturan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang kontra produktif dengan aturan sebelumnya yaitu UU PPKSK dan Perppu No 1 Tahun 2020. Mereka tidak mau terlibat sama sekali sekaligus dan menyerahkan urusan likuiditas perbankan ke Himbara, itu namanya cuci tangan,” ujarnya.
Fauzi menjelaskan, pada PP No 23 Tahun 2020 tepatnya Bab V pasal 10 dan pasal 11 diatur mengenai pelaksanaan program PEN terutama bagian penempatan dana yaitu ada bank peserta dan bank pelaksana. Mereka menggunakan mekanisme perjanjian antar mereka dalam melaksanakan restrukrisasi.
Dana penempatan Pemerintah di bank peserta dan ada dana penyangga likuiditas di bank pelaksana. Antara bank peserta dan bank pelaksana diatur dengan perjanjian tersendiri antar mereka.
“Bank peserta melakukan restrukrisasi atas debitur. Bank pelaksana melaksanakan restrukrisasi juga atas debitur nya tapi diawasi oleh bank peserta. Bagaimana mungkin bank peserta mengawasi restrukrisasi debitur dari para bank pelaksana. Bank peserta adalah anggota Himbara plus bank swasta besar yang masuk dalam kategori 15 besar dalam keadaan sehat menurut penilaian OJK dan 51% dimiliki oleh WNI,” tegas Fauzi.
Fauzi melanjutkan, restrukturisasi atas debitur mulai dari ultra mikro, mikro, UMKM, consumer sampai kredit korporat adalah sebuah tindakan individual bank sebagai kreditur kepada nasabahnya.
“Kenapa dilibatkan pihak lain untuk mengawasi? Belum lagi dalam UU Pokok Perbankan jelas tentang rahasia kredit nasabah sebagai data yang harus disimpan dan menjadi delik pidana bila dibuka ke pihak lain di luar pihak kreditur. Lantas apa fungsi OJK sebagai pengawas sektor perbankan dalam PP 23/2020 ini? Mekanisme adanya Bank Peserta dan Bank Pelaksana dalam praktek nya akan sulit dijalankan dan sulit di implementasikan karena skema tersebut adalah skema yang rumit berbagai alasan di atas,” ujarnya.
Fauzi menambahkan, PP No.23/2020 pada Bab I Ketentuan Umum di pasal 1 tidak memberikan pengertian soal apa yang dimaksud dengan dana penempatan pemerintah, dana penyanggah likuiditas, dan pengertian bank sehat menurut kriteria OJK.
“Ingat di saat krisis, apakah masih ada bank kategori sehat dalam pengertian kondisi normal,” tegas Fauzi.
Fauzi mengungkapkan, selama rapat Komisi XI DPR dengan KSSK yang pertama ditetapkan bahwa kebijakan yang dibuat harus menerapkan prinsip tata kelola atau good governance, moral hazard dan tidak terjadi adanya conflict of interested.
Fauzi menekankan, jika antara anggota bank peserta dengan bank pelaksana pernah melakukan kerja sama dalam sindikasi pinjaman kredit terhadap debitur.
“Kemudian debitur tersebut melakukan restrukrisasi, apakah ini tidak melanggar prinsip tata kelola yang baik? Lalu ada moral hazard dan sekaligus ada conflict of interest antar anggota bank pesert dengan bank penyelenggara. Bagaimana ini aturan seperti ini bisa dijadikan model pemulihan ekonomi nasional? Ada sistem bank peserta atau bank pelaksana,” ungkapnya lagi.
“Bagaimana bisa menyehatkan perekonomian tapi dengan membuat sistem perbankannya sakit. Ini seperti mau menyehatkan orang sakit tapi bukan pada dokter yang tepat, tapi dokter juga sakit dan kondisi rumah sakitnya juga tak memadai bahkan ada kesan orang sakit dipaksakan mengobati orang sakit benar-benar keterlaluan. Skema PP No.23/2020 tak hanya menambrak aturan perundangan-undangan yang ada, tapi juga rumit dan sulit dilaksanakan,” sambungnya.
Lulusan pasca sarjana Universitas Indonesia ini memandang, para pembuat kebijakan di KSSK sedang menyiapkan skenario penghancuran ekonomi Indonesia untuk kemudian masuk fund manager asing seperti George Soros afau Warren Buffet untuk mengambil alih kebun sawit kita, tambang batu bara, tambang nikel, tambang cobalt bahan baku baterai lithium, bisnis bank dan bisnis di sektor keuangan.
“Antek Asing di KSSK sedang menjalankan perintah Washington Consensus menjalankan agenda tuan besar,” ujarnya.
Menurut Ketua Kapoksi Fraksi Nasdem Komisi XI DPR-RI ini, sebaiknya KSSK tetap berpedoman UU PPKSK, dimana urusan likuiditas perbankan lebih tepat ditangani Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BI dan LPS yang memiliki ranah mengurusi masalah perbankan.
Fauzi menawarkan solusi alternatif, pertama opsi membentuk badan baru yang khusus mengurusi masalah likuditas perbankan semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan BPPN.
Lembaga ini dibentuk dengan tugas pokok untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.
Krisis keuangan dialami sejumlah perbankan karena dampak Covid-19, membutuhkan lembaga semacam BPPN yang dipimpin Menteri Keuangan dengan melibatkan anggota KSSK lainnya.
Opsi lainnya, urusan likuiditas perbankan tetap diserahkan ke KSSK sesuai arahan UU PPKSK dan Perppu. Apalagi merujuk pada Perppu No 1 Tahun 2020, pasal 27 disitu diatur hak imunitas KSSK, dimana tidak bisa diawasi oleh DPR-RI dan juga tidak bisa dibawah ke ranah peradilan ketika kemudian hari muncul skandal keuangan.
“Eh sekarang kenapa keluar lagi PP yang menyerahkan urusan likuiditas perbankan ke Himbara? Mereka tak hanya mengacak-acak aturan perundangan-perundangan yang ada tapi mereka buat aturan yang tidak konsisten antara satu dengan lainnya,” beber dia.
Seraya menambahkan, dengan berbagai kebijakan yang amburadul dan menabrak aturan perundangan-undangan yang ada, sangat besar berpeluang terulangnya kasus BLBI dan Bank Century jilid 2.
“Itu tidak boleh terjadi dan seharusnya Pemerintah sekarang bisa mengantisipasi agar tidak muncul skandal keuangan di masa pandemi,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh