KedaiPena.Com – Tokoh PBNU, KH Dr. Agus Sunyoto menyampaikan, Fatwa dan Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari menjadi pemicu para santri untuk ikut berjuang mengangkat senjata dalam perlawanan melawan Sekutu dan Belanda pada 10 November 1945.
Dia menjelaskan, mulanya Belanda menyebarkan berita bohong bahwa Inggris akan menangkap semua pihak yang dianggap kolaborator Jepang.
Mereka yang akan ditangkap termasuk Bung Karno, Bung Hatta, anggota Peta, Hizbullah, Heiho, dan Seinenden. Berita itu disampaikan melalui Radio Belanda pada 14 Oktober 1945.
“Dalam kenyataannya, Inggris datang ke sini ngurusi interniran tahanan Belanda yang ditahan Jepang dan ngangkutin tentara Jepang,” kata Agus dalam Webinar yang diadakan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta, ditulis, Minggu, (8/11/2020).
Berita itu pun didengar oleh para Kiai dan Ulama NU. Segera, Kiai dan Ulama NU mengadakan pertemuan untuk menyikapi kabar tersebut pada 21—22 Oktober 1945. Pada 22 Oktober 1945, lahir Fatwa dan Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari yang ditandatangani oleh PBNU.
“Itu ada dua hal pertama Fatwa Jihad, seruan dari Kiai Hasyim Asyari untuk masyarakat membela tanah airnya dari serangan musuh. Kedua, resolusi Jihad yang disampaikan kepada pemerintah untuk mengambil keputusan,” kata Penulis Buku ‘Fatwa dan Resolusi Jihad, Sejarah Perjuangan Rakyat Semesta di Surabaya, 10 November ini.
Para santri pun mengikuti seruan Fatwa Jihad tersebut. Kemudian, pasukan Inggris mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945. Terjadilah perlawanan selama empat hari untuk mengusir sekutu.
Pada 26 Oktober, pasukan Inggris membuat Pos Keamanan di berbagai lokasi. Sore harinya, Pos Pertahanan Inggris di daerah Benteng Utara diserang oleh massa.
Agus menyebut, penyerangan itu dipimpin salah satu petinggi Hisbullah yang bergabung ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
“Karena Surabaya sudah terprovokasi dengan Fatwa Jihad melawan sekutu, massa menyerang Benteng Utara. Inggris yang tak tahu apa-apa kaget karena niatnya bukan untuk berperang,” katanya.
Semangat massa karena Fatwa Jihad itu pun terus berlanjut. Pada 27 Oktober 1945, semua santri ikut melakukan perlawanan terhadap Sekutu. Agus menyebut, niat mereka bukan untuk berperang, melainkan tawuran.
“Tidak ada pimpinan, semua orang kampung keluar bawa linggis, Bambu Runcing, nyerang tentara Inggris,” katanya.
Penyerangan terhadap Sekutu berlanjut hingga 28 Oktober 1945. Semangat massa mempertahankan kemerdekaan tidak bisa dibendung lagi.
Bahkan, TKR yang mulanya tidak terlibat dalam perlawanan ikut membantu massa untuk mengusir sekutu dari Indonesia.“Karena itu korban dari Inggris meningkat semakin besar,” ujarnya.
Melihat situasi yang kacau itu, pihak Inggris mencoba menghubungi pemerintah Indonesia. akhirnya, situasi sedikit mereda karena Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menenangkan massa pada 29 Oktober 1945. Kemudian, 31 Oktober 1945, pihak Inggris dan Jawa Timur menyepakati perjanjian damai.
“Nah masalahnya, saat itu massa di lapangan tidak tahu. Itu sebabnya dilakukan sosialisasi,” tutur dia.
Namun, dalam usaha mendamaikan dua pihak itu, Brigadir Jenderal Malllaby tewas pada 30 Oktober 1945. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya. Hal itu yang membuat pihak Inggris marah besar.
“Tanggal 31 oktober Letnan Jenderal Sir Philip Christinson bikin ultimatum. Ultimatum mengatakan kalau sampai tanggal 9 November jam 5 sore tidak menyerahkan pembunuh dan menyerahkan senjata maka tanggal 10 November, surabaya akan dibombardir. KH Hasyim Asyari pun menjawab hal itu dengan Fatwa Jihad kembali,” katanya.
Agus menyimpulkan, peristiwa 10 November tidak akan terjadi tanpa kematian Mallaby. Pun Mallaby tidak akan meninggal tanpa empat hari perlawanan para santri dari 26-29 Oktober untuk mempertahankan kemerdekaan.
“Dan peristiwa empat hari tidak akan terjadi tanpa Fatwa dan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober. Faktanya seperti itu, itu rangkaian yang tidak ditulis dalam sejarah,” tegas dia.
Laporan: Sulistyawan