Artikel ini ditulis oleh Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN (Persero).
Perhelatan Konferensi Iklim PBB atau COP27 di Mesir pada 20 November lalu, menghasilkan rekomendasi dana global untuk “kerugian dan kerusakan” (loss and damage) bagi negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang dan rentan, yang didera bencana iklim.
Sejauh ini, pendanaan iklim lebih fokus pada pengurangan emisi karbon untuk menghambat pemanasan global. Sementara pembayaran kerugian dan kerusakan berbeda dari pendanaan iklim yang diarahkan pada mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi mengacu pada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan pemanasan global, misalnya, dengan transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Sementara adaptasi adalah upaya untuk mempersiapkan dampak buruk dari krisis iklim dengan meminimalkan kerusakan.
Bagi para diplomat iklim dan aktifis lingkungan, mitigasi dan adaptasi merupakan dua pilar aksi iklim yang mapan. Sementara pendanaan kerugian dan kerusakan iklim adalah pilar ketiga kebijakan iklim internasional. Dan pada COP27 di Mesir, reparasi atau kadang juga disebut pembayaran kerugian dan kerusakan, mendominasi pembicaraan untuk penciptaan fasilitas keuangan khusus PBB bagi aksi iklim global.
Meski kurang puas karena COP27 masih gagal mendorong penghapusan karbon, Sekjend PBB, Antonio Guterres, menyambut komitmen itu sebagai langkah menuju keadilan. Sementara nada optimis datang dari Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, Simon Stiell, bahwa hasil COP27 membawa terobosan. Dikutip dari laman unfccc.int.news.cop27, 20 November 2022, Stiell mengatakan, “We have determined a way forward on a decades-long conversation on funding for loss and damage.”
Memang, tidak semua figur kunci dari negara-negara maju merasa puas dengan hasil COP 27. Seperti Sekretaris Iklim Jerman Jennifer Morgan dan Wakil Presiden Komisi Eropa, Frans Timmermans, kecewa akan hasil perundingan. Namun, komitmen ini perlu dikawal, mengingat pendanaan ini harus dibayarkan untuk mengganti kehilangan dan kerusakan akibat dampak krisis iklim yang mayoritas dialami negara-negara kepulauan kecil dan berkembang.
Selama ini mayoritas negara-negara maju seakan menunda-nunda pembayaran ini sebagai komitmen pada COP21 di Paris 2015, tentang pendanaan US$100 miliar. Maka kesepakatan pada pembicaraan iklim COP27 untuk menyiapkan dana kerugian dan kerusakan, adalah “fajar baru” menandai tonggak sejarah perjuangan panjang negara-negara berkembang dan rentan di garis depan pemanasan global.
Sejumlah negara pulau-pulau kecil dan berkembang, aktif mendorong kompensasi ini, sejak masalah kerugian dan kerusakan pertama kali diangkat delegasi Vanuatu pada 1991. Mereka mengusulkan pembentukan skema asuransi, di bawah naungan PBB, untuk membantu membayar konsekuaensi dari naiknya permukaan air laut. Tuntutan itu, selama tiga puluh tahun selalu ditolak oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju, yang secara historis menyumbang sebagian besar GRK.
Pada COP27, mereka meminta perundingan tentang komitmen pendanaan negara-negara maju sebagai agenda inti. Aliansi Negara Pulau Kecil (AOSIS) di Pasifik dan Karibia, dan kelompok 134 negara dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dipimpin oleh Pakistan yang baru dilanda banjir besar, membentuk front persatuan agar komitmen pendanaan dari negara maju dijadikan parameter keberhasilan COP27.
Adalah Skotlandia, selaku tuan rumah COP26 tahun lalu di Glasgow, yang berinisiatif menawarkan dana kerugian dan kerusakan, agar ada aspirasi keberlanjutan antara COP26 dan COP27. Komitmen pendanaan Skotlandia sebesar US $ 2,4 juta bagi aksi iklim, telah menjadi katalis bagi Uni Eropa (UE) untuk menyiapkan proposal pendanaan, yang kemudian diikuti sejumlah negara maju lainnya.
Inilah petunjuk pertama, seperti ditulis The Economist, 20 November 2022, bahwa air pasang mungkin bisa berbalik. Seperti dialami Pakistan pada awal tahun ini, yang dilanda hujan monson hebat telah menyebabkan kerusakan dan kerugian finansial lebih US$30 milyar, setara dengan 9 persen dari PDB negara itu. Selain oleh variasi iklim alami dan “La Nina”, hujan di Pakistan juga diperparah oleh efek GRK.
Pendanaan kerugian dan kerusakan dikumpulkan oleh negara-negara maju. Namun, bagaimana operasionalisasi dan negara mana saja yang akan menjadi donatur, belum ditentukan. Untuk membahas soal ini telah dibentuk Komite Transisi Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCC). Komite Transisi ini akan menyusun rekomendasi terkait distribusi pendanaan, pada COP28 tahun depan di Dubai, Uni Emirat Arab.
Pertemuan pertama Komite Transisi direncanakan pada Maret 2023. Pada akhirnya kesepakatan soal pendanaan, sebagian besar akan bergantung pada percepatan konsolidasi dari (calon) negara-negara kontributor. Menjadi kerja keras Komite Transisi, karena negara penerima akan selalu menunggu kabar positif terkait pendanaan keadilan iklim.
Komitmen Indonesia
Bagi Indonesia, pendanaan aksi iklim memang perlu, seperti narasi pendanaan global “loss and damage” yang berkembang selama COP27. Presiden Joko Widodo sendiri saat COP26 di Glasgow 2021, mengingatkan kembali soal komitmen pendanaan global sebesar US$100 miliar yang sudah disepakati sejak Kesepakatan Iklim Paris 2015. Saat berpidato di mimbar COP27, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, sempat menyinggung kembali komitmen ini namun sepertinya tenggelam oleh arus besar pembicaraan dana kerugian dan kerusakan.
Namun komitmen Indonesia untuk melakukan dua pilar aksi iklim, mitigasi dan adaptasi, terutama di sektor energi, seperti transisi energi saat KTT G20 di Bali, pertengahan November lalu, banyak diapresiasi dan mendapat dukungan pendanaan. Program strategis pemerintah memensiunkan dini (early retirement) PLTU berbasis batubara, mendapat komitmen pendanaan sebesar US $ 20 miliar, melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dimotori AS dan Jepang.
Upaya transisi energi juga didukung skema pendanaan Climate Investment Fund, dengan komitmen sekitar US$500 juta. Pendanaan ini akan didukung lembaga multilateral, salah satunya adalah Asian Development Bank (ADB).
Dukungan swasta juga meningkat baik korporasi maupun filantropi, seperti Bloomberg Philanthropist, Bezos Earth Fund, Rockefeller Foundation, IKEA dan High Tide. Ada pula inisiatif dari sektor keuangan yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang antara lain didukung Citi and Bank of America.
Badan Energi Internasional (IEA), juga telah menyambut baik Kemitraan Transisi Energi Baru yang diluncurkan Indonesia bersama beberapa negara maju pada KTT G20 di Bali, sebagai “key step forward for international cooperation on energy and climate.” Dikutip dalam laman www.iea.org.news, 16 November 2022, IEA juga telah mendukung target transisi sektor listrik yang ambisius dan adil di Indonesia dalam “An Energy Sector Roadmad to Net Zero Emissions in Indonesia 2060.”
Sekilas terlihat seperti ada kesenjangan antara narasi yang berkembang di COP27 dan realitas Indonesia hari ini. Tidak ada keraguan, Indonesia telah berada di jalur yang benar. Hasil COP27 masih “kurang sempurna” dan terkesan mundur dibandingkan kesepakatan COP26 di Glasgow tahun lalu, ketika itu para pemimpin dunia, sepakat untuk mengakhiri secara bertahap energi fosil batubara, diganti dengan energi terbarukan.
[***]