KedaiPena.com – Ketimpangan pengelolaan ruang antara rakyat dan pengusaha ditenggarai sebagai akibat masuknya para pelaku usaha ke dalam sendi pemerintahan. Mempengaruhi kebijakan yang cenderung menguntungkan mereka karena mereka terlibat dalam perumusan kebijakan tersebut.
Data Walhi Indonesia menunjukkan, dari 53 juta hektar penguasaan lahan yang diberikan negara, 95 persennya diberikan pada korporasi, yang meliputi pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Sementara rakyat, diberikan tak lebih dari 3 juta hektar pada periode kepemimpinan Jokowi.
Ekonom Indonesia, Faisal Basri menyatakan dinamika kekuatan negara dengan kekuatan masyarakat, saat ini sudah dimasuki oleh kekuatan korporasi. Dimana korporasi berhubungan erat dengan negara, yang menyebabkan keseimbangan dinamika mulai bergeser condong ke negara dan korporasi.
“Sebagai contoh, wakil menteri sekaligus menjabat sebagai wakil Ketua Umum KADIN, atau dulu ada Bupati Bandar Lampung yang merangkap sebagai Ketua APINDO Provinsi Lampung, staf ahli kementerian terdiri dari pengusaha. Tak ada batas. Sehingga mereka leluasa, bukan hanya mempengaruhi kebijakan tapi masuk dalam rongga pengambilan keputusan dan menjadi aktor aktif untuk merumuskan kebijakan. Yang terjadi adalah privatisasi peran negara,” kata Faisal dalam diskusi, Minggu (28/8/2022).
Ia menyatakan bahwa yang bisa melawan hubungan erat ini hanyalah masyarakat atau kekuatan society.
“Hubungan yang terbangun antara korporasi dengan society saat ini adalah ketergantungan abadi. Dimana korporasi menyediakan fasilitas tapi mewajibkan society menyerahkan hasil kerjanya pada korporasi. Seharusnya di negara yang berlandaskan Pancasila, yang dibentuk adalah korporasi rakyat, dimana lahan dimiliki oleh komunitas lokal daerah tersebut,” paparnya.
Ketergantungan ini menyebabkan penentuan harga komoditas dipegang sepenuhnya oleh korporasi. Masyarakat selaku pekerja, akan tetap menjadi pekerja.
“Seharusnya, kita misalkan ada lahan seluas seribu hektar yang dikelola oleh komunitas lokal. Lalu lahan ini diagunkan ke Bank untuk mendapatkan modal membangun pengilangan sawit. Jadi kilang sawit milik rakyat. Lalu, nanti bangun lagi pabrik biodiesel. Biodiesel-nya punya rakyat juga,” paparnya lagi.
Kalaupun harus bekerja sama dengan korporasi besar, maka posisi tawarnya seimbang.
“Pemerintah saat ini cenderung lepas tangan dan menyengsarakan rakyat. Padahal kita merdeka untuk memastikan tidak ada eksploitasi, seperti saat zamannya VOC. Dimana saat itu VOC adalah perusahaan multi nasional sangat besar dengan Indonesia sebagai eksportir karet dan gula nomor dua terbesar di dunia,” kata Faisal.
Ia mengingatkan bahwa pemerintah merupakan pemegang kuasa tertinggi untuk memastikan sumber daya alam dikelola untuk kemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat.
“Caranya bagaimana, pemerintah harus menerapkan Windfall Tax. Ini diterapkan di Amerika, yang negara kapitalisme. Jadi windfall-nya bisa dinikmati oleh masyarakat. Pemerintah malah menyokong korporasi, dengan membuka jalan yang menguntungkan para korporasi,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa