KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon angkat bicara soal kritik terhadap pasal-pasal yang berada pada Undang-undang MD3.
Diketahui, pada Senin (12/2/2018), DPR resmi mengesahkan revisi Undang-Undang MD3. DPR kembali menghidupkan hak imunitas Anggota Dewan serta hak untuk memanggil paksa.
Untuk memahami hal tersebut, Fadli pun meminta, agar masyarakat dapat mengerti terlebih dahulu mengenai kelembagaan dan cara kerja DPR RI.
DPR, tegas Fadli, berbeda dengan kelembagaan eksekutif yang bersifat ‘incorporated’, kelembagaan DPR tak bersifat ‘incorporated’.
“Selain beranggotakan 560 orang yang bersifat independen, DPR juga berisi 10 fraksi yang posisinya bersifat independen satu sama lain,” ujar Fadli dalam keterangan, Rabu (14/2/2018).
“Karena itulah dalam bahasa Inggris Ketua DPR disebut sebagai ‘speaker’, bukan ‘chief’. Kewenangannya memang hanya sebagai juru bicara saja, bukan membawahi atau memerintah anggota,” sambung Fadli.
Pola kelembagaan DPR sendiri, lanjut Fadli, tak banyak dipahami oleh masyarakat. Jika ada satu anggota DPR ngomong apapun di media selalu saja ditulis seolah apa yang diomongkannya tadi adalah pendapat lembaga DPR secara keseluruhan.
“Padahal tidak. Di DPR ada pandangan individu anggota, pandangan komisi, pandangan fraksi, dan pandangan rapat paripurna,” beber dia.
Tidak hanya itu, Fadli lanjut menjelaskan, setiap anggota DPR pasti merupakan anggota partai politik tertentu. Tapi pendapat anggota tak harus selalu sama dengan fraksi atau partainya.
“Suatu ketika, dalam proses pengambilan keputusan bisa saja seorang anggota lebih mengedepankan aspirasi konstituennya di daerah. Tapi, pada kasus yang lain, bisa saja yang dimenangkan adalah kepentingan umum yang lebih luas dari kepentingan konstituennya,” jelas Fadli.
Dengan kondisi demikian, lanjut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, sikap, pandangan, dan posisi para subyek di DPR itu pluri sekali. Itu sebabnya dalam menyikapi isu-isu publik yang sedang dibahas di parlemen, pemahaman atas kelembagaan DPR tadi penting untuk disertakan
“Misalnya, publik harus punya peta, terkait isu A siapa berpendapat apa, karena pandangan yang ada di DPR pasti tidak pernah tunggal. Mengagregasi seolah pandangan yang ada di DPR bersifat tunggal adalah penilaian yang tak berguna, karena konklusinya sudah pasti akan keliru,” tegas Fadli.
Laporan: Muhammad Hafidh