KedaiPena.com – Menjelang masa berakhirnya kepemimpinan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, ternyata masih menyisakan hal-hal yang perlu dibenahi di sektor jalan tol. Dinyatakan, masih banyak standar layanan minimum untuk pengguna jalan tol yang belum terpenuhi.
Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono (BHS) menilai selama masa kepemimpinan Pak Jokowi, belum terlihat maksimal adanya peningkatan positif di sektor jalan tol. Ia menyatakan, masih banyak hal yang perlu dibenahi di sektor jalan tol.
“Jika melihat kinerja pemerintah di sektor jalan tol, maka kita bisa menilai dari kondisi fisik jalan tol dan layanan rest area yang ada di setiap ruas jalan tol. Dari hal itu semua, bisa saya katakan layanan jalan tol Indonesia saat ini masih sangat kurang,” kata BHS, Jumat (13/9/2024).
Sebagai contoh pertama, ia menyoroti keberadaan Rest Area yang belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian PUPR.
“Dari sisi jumlah rest area nya saja belum memenuhi syarat. Jarak antara rest area ke rest area selanjutnya itu masih banyak yang tidak sesuai. Termasuk juga untuk luasan lahan, rest area tipe A seharusnya minimum 6 hektar, tipe B minimal 3 hektar, dan tipe C minimal 2.500 meter persegi, itu juga banyak yang belum terpenuhi baik jumlah maupun kualitasnya. Seperti misal rest area tipe A seharusnya dilengkapi dengan unit-unit ber standar seperti klinik kesehatan, pemadam kebakaran, posko kepolisian, Dan bahkan harus dilengkapi dengan bengkel. Faktanya kan banyak yang tidak memenuhi standar sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR, begitu,” urainya.
Apalagi akses jalan menuju ke rest area masih banyak yang berantakan, seperti yang dikeluhkan oleh operator rest area. Sehingga akan menyulitkan pengguna jalan tol untuk masuk ke rest area.
“Rest Area ini kan kebutuhan pokok masyarakat, apalagi kalau ‘Peak Season’, dimana jumlah penggunanya sangat banyak. Seharusnya tidak perlu dibuat bentuk yang aneh-aneh, seperti di beberapa negara luar, rest area tidak perlu menonjolkan bentuknya, yang penting adalah isi dan fungsi dari rest area itu,” urainya lagi.
Belum lagi, lanjutnya, beban dari biaya penyewaan lot untuk berdagang di rest area yang sangat mahal, sehingga menyebabkan harga makanan di rest area biasanya lebih mahal dibandingkan harga di luar jalan tol.
“Hal ini lah yang sangat mempengaruhi kenyamanan masyarakat untuk beristirahat dan memanfaatkan makanan dan berbelanja di jalan tol, karena terbatasnya areal rest area dan mahalnya harga makanan di rest area tersebut. Tentunya ini akan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan tol bila mereka tidak berminat untuk beristirahat di rest area jalan tol. Dan tentu akan berpengaruh terhadap ekonomi perdagangan di wilayah tersebut,” kata BHS.
Selain itu, dia menyatakan lajur jalan tol di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standarisasi layaknya jalan tol berbayar seperti yang ada di beberapa negara luar. Misalnya di Malaysia lajur jalan tol, minimal 3 lajur, di sisi kiri dan berlawanan 3 lajur di sisi kanan. Sementara mayoritas jalan tol di Indonesia hanya 2 lajur.
“Ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, agar standar jalan tol berbayar di Indonesia bisa mempunyai lajur di atas 2 lajur,” tegas BHS.
Ditambah, kondisi fisik di mayoritas jalan tol cenderung tidak memperhatikan keselamatan pengguna jalan tol. Misalnya seperti kualitas jalannya, rambu-rambu yang ada di jalan tol, hingga penerangan di jalan tol.
“Ada lajur di jalan tol yang saat ini masih dalam bentuk Rigid Pavement, yang sangat membahayakan untuk kecepatan tinggi. Mana ada di seluruh dunia jalan tol Rigid Pavement tidak dilapisi aspal atau concrete. Ini pasti sangat membahayakan pengguna jalan tol yang menggunakan kecepatan tinggi karena akhirnya mengakibatkan begitu banyak pecah ban, apalagi kalau Rigid Pavement nya pecah atau rusak, maka akan lebih membahayakan ban kendaraan yang lewat di jalur tol tersebut,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa