8 Februari 2016, Koalisi Anti Mafia Hutan melaporkan dugaan pelanggaran kode etik ke Komisi Yudisial yang dilakukan oleh Parlas Nababan, Elywarti, dan Kartijono.Â
Ketiganya merupakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang yang memeriksa, memutus, dan mengadili gugatan kebakaran hutan yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (BMH).
Dalam gugatan tersebut, KLHK menggugat PT. Bumi Mekar Hijau mengganti kerugian yang timbul akibat kebakaran hutan dan lahan di areal konsesi PT. Bumi Mekar Hijau. Sayangnya dalam gugatan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim PN Palembang. Putusan ini pun dinilai memiliki banyak keganjilan oleh publik.‎
Atas keganjilan tersebut, Koalisi Anti Mafia Hutan melakukan eksaminasi putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. Dalam kesimpulannya, Majelis Eksaminator menyimpulkan adanya kejanggalan dalam putusan tersebut, diantaranya:
Dasar pertimbangan berupa asumsi dan hakim tidak mengurai fakta dan bukti
Dasar pertimbangan tidak konsisten
Hakim tidak netral dan cenderung memihak PT. BMH. ‎
Temuan hasil eksaminasi putusan tersebut diperkuat dengan adanya putusan terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim Parlas Nababan Cs. Dalam Sidang Pleno komisi Yudisial, tanggal 26 Juli 2016 memutuskan untuk menjatuhkan sanksi kepada Hakim Parlas Nababan berupa hakim Non-Palu selama 1 tahun. Dan hakim Non-Palu selama 3 bulan kepada Eliwarti dan Kartijono. Ketiganya dinilai telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yakni berperilaku adil. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.
Hakim harus berintegritas tinggi dan tidak tercela. Hakim wajib menjunjung tinggi harga diri. Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan, berdisiplin tinggi, bersikap profesional.
Putusan Sidang Pleno Komisi Yudisial tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan. Putusan tersebut bersifat rekomendasi sehingga harus diserahkan kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga yang akan menindaklanjuti rekomendasi putusan Sidang Pleno KY.Â
Putusan tersebut sudah seharusnya menjadi rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung mengingat upaya menjaga kewibawaan, marwah, dan harga diri lembaga peradilan sangat penting. Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab untuk memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.‎
Perlu dicatat bahwa Mahkamah Agung, justru memberikan promosi jabatan bagi Hakim Parlas Nababan yang sebelumnya adalah Wakil Ketua PN Palembang menjadi Ketua PN Palangkaraya. Dengan putusan sidang pleno KY, seharusnya dapat menjadi bahan evaluasi promosi terhadap Parlas Nababan dan pembinaan terhadap hakim lainnya.
Untuk pembinaaan hakim ke depan, Mahkamah Agung harus menjadikan kasus PT. National Sago Prima (NSP) yang diputus oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan sebagai rujukan. Agar ke depan tidak terulang lagi apa yang terjadi pada Parlas Nababan dalam kasus PT. BMH.Â
Mahkamah Agung perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja hakim bersertifikasi lingkungan yang ada saat ini, dan melakukan peningkatan kapasitas dan jumlah hakim lingkungan di lingkungan Mahkamah Agung. Â Â
Oleh karenanya kami mendesak Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti Putusan Sidang Pleno Komisi Yudisial yang menjatuhkan hukuman Non-Palu kepada Majelis Hakim Perkara KLHK VS PT. BMH.
Evaluasi kembali pemberian promosi Hakim Parlas Nababan sebagai Ketua PN Palangkaraya. Selain itu, lakukan evaluasi terhadap kinerja hakim bersertifikasi lingkungan dan kinerja hakim yang menangani perkara lingkungan, khususnya terkait kasus kebakaran hutan dan lahan.
Â
Oleh Juru Bicara Koalisi Anti Mafia Hutan, Syahrul Fitra ‎