KedaiPena.Com – Masyarakat Betawi sedari awal proses pembentukannya punya kecenderungan handal untuk bersifat eklektis dan terbuka dalam menyerap unsur-unsur kebudayaan lain di luar dirinya.
Tak sedikit interaksi dialektisnya dengan nilai-nilai terbaik kebudayaan lain diinternalisasi sedemikian rupa ke dalam diri masyarakat Betawi. Dan kemudian mewujud secara aktual dalam banyak aspek perilaku maupun karya fisik dan non-fisik dari masyarakat Betawi.
Direktur Eksekutif JARANAN, Nanang Djamaludin, menyampaikan hal tersebut saat digelar kegiatan Sosialisasi Perda DKI Jakarta No.4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi bersama anggota DPRD DKI Jakarta Yudha Permana di Meruya Utara Jakarta Barat, Senin (13/9/2021).
Di sisi lain, Nanang melihat keterbukaan tanpa jarak yang sedemikian hangat yang dipraktikkan masyarakat Betawi terhadap etnis-etnis lain yang ada di lingkungan pergaulan masyarakat Betawi, membuat banyak orang dari etnis-etnis lain tanpa terasa, secara alamiah justru akhirnya turut menginternalisasi diri menjadi “Betawi”.
Ia berkisah pengalamannya memiki teman-teman yang kedua orangtuanya berasal dari etnis-etnis lain atau dari pulau-pulau lain yang jauh, yang lalu tinggal di Jakarta. Awalnya teman-temanya itu berbahasa totok dan berlogat daerah asal orangtuanya. Dalam perkembangannya, dalam diri teman-teman saya itu tumbuh kebetawiannya.
“Unsur-unsur di dalam budaya Betawi laksana medan magnet berdaya-tarik kuat yang dapat menarik pihak lain yang intens berinteraksi dengannya, yang sebelumnya berada di luar dirinya untuk berproses turut menjadi Betawi,” papar Nanang yang juga pegiat Klub Literasi Progresif (KLiP).
Dari sisi sejarah, Betawi sebagai etnis terbentuk melalui percampuran pelbagai etnis dari dalam maupun luar Nusantara yang telah ada dan menetap di wilayah yang kini disebut Jakarta, terutama sejak era kolonial. Seperti etnis Melayu, Bali, Jawa, Bugis, Sunda, Ambon, Banda, China, Arab, Eropa, setengah Eropa, Mardijker, Moor, dan lain-lain.
Meskipun pada awalnya berlangsung politik segregasi terhadap etnis-etnis yang ada itu oleh pemerintahan kolonial Belanda, sambungnya, tetapi hal itu tak mampu selamanya menghalangi berlangsungnya kawin-mawin antar entis-etnis tersebut.
“Pada perkembangannya kemudian lewat proses yang tidak diduga-duga, lahir dan terbentuklah budaya hibrid pada masyarakat seperti itu. Hibriditas itu terjadi, baik itu di ranah. kebahasaan, kesenian, adat-istiadat, arsitektur, kesusastraan, pakaian adat, makanan, dan sebagainya. Sehingga, sesungguhnya bukan cuma tubuh yang berkawin-mawin. Melainkan unsur-unsur kebudayaan yang sebelumnya dihayati masing-masing pihak pun ternyata ikut berkawin-mawin,” ujar Nanang.
Ditampilkannya data sensus tahun 1930 di masa pemerintah kolonial. Di situ terlihat kemunculan dan keberadaan sebuah etnis baru, yang ciri-cirinya amatlah berbeda dengan etnis-etnis lain yang sebelumnya telah familiar diketahui, sebagaimana terdapat didalam sensus-sensus pada masa-masa yang jauh sebelumnya, yakni sensus tahun 1675, 1815, dan 1893.
Etnis baru tersebut saat hendak dikategorikan sebagai etnis Melayu, tapi mereka tidaklah Melayu-Melayu amat. Mau dibilang Sunda, jelas mereka bukan Sunda yang biasanya. Dimasukan sebagai etnis Jawa, atau Arab atau Cina, ternyata juga bukan.
Diyakini bahwa etnis baru itu sebenarnya merupakan masyarakat beserta keturunan dan para kerabatnya yang sebelumnya secara alamiah melakoni, menghayati, mengembangkan sekaligus menjad penyangga aspek-aspek budaya hibrid sebagaimana disebutkan sebelumnya.
“Di dalam sensus 1930, etnis baru itu disebut sebagai orang-orang Batavia, yang kemudian berkembang penyebutannya menjadi orang Betawi. Dan itulah salah satu teori yang cukup menonjol selama ini terkait proses terbentuknya etnis Betawi atau masyarakat Betawi,” beber Nanang.
Lebih jauh ia mengatakan, meskipun etnis Betawi merupakan salah satu etnis termuda di Indonesia, namun karakter egaliter, plural, dan inklusif yang melekat padanya, menjadikannya untuk bisa dibilang sebagai salah satu etnis yang berada di garis terdepan untuk terus mengindonesia.
“Dalam konteks kekinian, agaknya saat ini di Jakarta juga sedang berlangsung sebuah proses yang kurang lebih hampir mirip dengan proses pembentukan etnis Betawi di era pemerintahan kolonial Belanda dahulu,” ucap Nanang.
Dalam amatannya, banyaknya generasi hibrid baru penduduk Jakarta, yang tidak hanya berkawin-mawin dengan etnis lain, namun juga antar generasi hibrid lain, yang jauh lebih kompleks dan tinggi tingkat variasinya ketimbang di masa kolonial. Mereka lalu memiiki anak dengan tingkat percampuran etnik dan budaya yang berlapis-lapis.
Tak sedikit diantara anak-anak itu yang bingung dari mana sebenarnya asal mereka. Tak sedikit yang tidak terlampau hirau dengan asal keberadaan mereka. Lalu mereka mengambil nilai-nilai baru dan budaya baru yang berhasil dibentuknya yang dipandang sangat “gue banget”.
“Boleh jadi fenomena itu merupakan awal dari sebuah proses yang bakal panjang menuju pembentukan etnis baru di massa depan di Jakarta. Entah, akan disebut apa etnis baru di Jakarta itu nantinya di massa depan,” tutupnya.
Laporan: Muhammad Lutfi