Ditulis oleh Politikus PDIP MH. Said Abdullah
SAAT menyampaikan sambutan pada acara peluncuran Indonesia Emas 2045 di Djakarta Theatre, Jakarta, Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan menarik. Kepemimpinan itu paparnya, ibarat tongkat estafet, bukan meteran pom bensin. Kalau meteran pom bensin itu, “Pak, dimulai dari nol ya. Sambil ditunjuk ini (meteran mesin pengisian bahan bakar). Apakah kita mau seperti itu? Ndak, kan?” tegas Jokowi, Kamis (15/6/2023).
Jokowi mengibaratkan pembangunan negara dengan tingkatan sekolah. Ia memaparkan jika pemimpin sebelumnya sudah membangun hingga SMA, pemimpin berikutnya harus melanjutkan pembangunan hingga perguruan tinggi.
Pernyataan Presiden Jokowi ini, dalam konteks kepemimpinan, menegaskan tentang urgensi kontinyuitas kinerja dari presiden ke presiden. Jadi, pemimpin berikutnya melanjutkan apa yang belum dan meng-accelerate visi misi presiden sebelumnya.
Yang telah berjalan diteruskan, yang sudah baik diperbaiki lebih baik lagi, yang kurang baik dibenahi. Kontinyuitas kepemimpinan ini dapat mempercepat proses dinamika pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jika dikaji lebih mendalam lagi pernyataan Presiden Jokowi secara subtantif merupakan bagian dari upaya penegasan urgensi fondasi sistem sehingga siapapun pemimpin di negeri ini, tinggal melanjutkan berbagai proses yang telah berjalan.
Sekedar contoh, di Amerika Serikat itu siapapun presiden yang terpilih tinggal melajutkan kerja presiden sebelumnya. Sistem telah terbentuk sehingga capaian keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan lebih cepat. Ibaratnya, tinggal menjalankan sistem yang telah ada untuk melanjutkan kerja berikutnya.
Sistem yang terbentuk itu -di Amerika Serikat- membuat siapapun yang menjadi presiden tidak akan menjadi masalah. Dalam pemikiran sederhana, asal terpilih siapapun dan dari kalangan manapun dapat menjalankan sistem pemerintahan dan bekerja sesuai janji saat kampanye.
Perbedaan kepemimpinan presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik yang terpilih hanya pada prioritas kinerja pada hal-hal yang kurang. Misalnya, ketika Partai Demokrat berkuasa biasanya lebih banyak menekankan pembenahan kebijakan dalam negeri seperti perpajakan dan soal ekonomi lainnya. Sebaliknya, kalau Partai Republik berkuasa, yang lebih terlihat prioritas pada kebijakan geopolitik; politik luar negeri.
Konsepsi seperti itulah subtansi pesan dari Presiden Jokowi melalui perumpamaan bernada jenaka ‘mesin pompa bensin.’ Di masa mendatang dengan sistem yang telah terbentuk, siapapun yang terpilih sebagai presiden tinggal melanjutkan dengan prioritas pada hal-hal yang mendesak, sesuai perkembangan kondisi nasional.
Perdebatan konstestasi Pilpres tinggal menfocuskan pada persoalan yang kurang optimal. Bukankah Indonesia selama ini telah memiliki RPJPN untuk perjalanan 25 tahun.
Pada poin inilah pesan strategis Presidenn Jokowi. Jangan sampai setiap pergantian presiden yang terpilih tidak melanjutkan program periode sebelumnya yang memang bagus. Namun lebih memilih program baru yang mengakibatkan program lama terbengkalai.
Memulai lagi dari nol seperti diingatkan Jokowi, bukan hanya menggambarkan kemunduran, namun juga ketakmampuan berpacu mempercepat diri menghadapi tantangan persaingan keras di belantara dunia. Ini yang harus kita hindari.
(***)