Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute.
Esensi demokrasi itu dua. Tegaknya kedaulatan rakyat dan kesetaraan. Indonesia pasca Suharto bangsa kita mengalami disorientasi dalam arti tidak kenal diri, tidak tahu diri, dan tidak tahu harga diri.
Lantaran dalam mengembangkan esensi demokrasi atas dasar kedaulatan rakyat dan kesetaraan yang khas Indonesia, tidak merujuk pada geopolitik sebagai input atau masukan.
Sehingga berbagai komponen bangsa tidak mengenali dulu apa konstelasi geografis dunia internasional yang berkembang pada dekade 1980an dan 1990an, sehingga berbagai komponen bangsa tidak mengenali tren global maupun potensi ancaman global yang akan atau sedang berproses di Indoesia.
Selain itu, seturut dengan lengsernya Suharto, berbagai komponen bangsa tidak menyelami karakteristik geografis berbagai daerah di bumi nusantara sebagai masukan geopolitik dalam merekonstruksi tatanan baru Indonesia pasca Orde Baru.
Termasuk dalam mengaktualisasikan esensi demokrasi khas Indonesia untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan kesetaraan sosial.
Alhasil, dari sebab tidak mengenali tren global dan potensi ancaman global yang sedang atau akan berproses di negeri kita, serta mengabaikan karakteristik dan aspirasi geografis masing-masing daerah di bumi nusantara, maka kita sebagai justru mengalami dis-orientasi sejak awal merekonstruksi tatanan nasional baru pasca Suharto.
Termasuk dalam membangun sistem demokrasi pasca Orde Baru yang berbasis sistem multi-partai.
Dari sebab tidak baca diri dengan merujuk pada karakteristik dan aspirasi geografis masing-masing daerah sebagai kodrat geopolitik Indonesia, dan juga tidak baca lingkungan dengan merujuk pada apa konstelasi geografis dunia internasional sebagai tren global kala itu, maka esensi demokrasi Indonesia justru dibangun atas dssar skema kepentingan kapitalisme global berbasis korporasi yang mana semakin menguat pada era 1980an dan 1990an.
Skema kapitalisme global berbasis korporasi yang kian menguat sejak dekade 1980 dan 1990 tersebut, kemudian membangun formasi neoliberalisme dengan menunggangi arus globalisasi yang merupakan tren global pasca Perang Dingin pada akhir 1980 memasuki awal 1990an.
Nah, formasi neoliberalisme global inilah kemudian menjadi fondasi membangun konfigurasi kekuatan politik untuk menguasai kondisi sosial geografis Indonesia di ranah ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan.
Yang mana tujuan strategisnya adalah menguasai kondisi alamiah geografis negeri kita yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan lokasi geografis.
Menyadari tujuan dan niatan skema kapitalisme global berbasis korporasi melalui Formasi Neoliberalisme berikut konfigurasi kekuatan neoliberal sebagai perangkat dukungan strategisnya, maka ketika desain besar demokrasi Indonesia yang dibangun seturut lengsernya Suharto tersebut harus diselaraskan dengan formasi dan konfigurasi neoliberalisme global, maka esensi demokrasi sebagai kedaulatan rakyat dan kesetaraan sosial harus dihilangkan.
Dengan begitu, demokrasi tidak memberi ruang partisipasi yang luas daru berbagai elemen masyarakat baik berbasis budaya maupun kelas.
Dan tidak mengembangkan kesetaraan sosial dalam arti sistem demokrasi kita tidak peka dengan adanya aspirasi baru dan kelompok baru yang terpinggirkan akibat dominasi dan hegemoni formasi dan konfigurasi neoliberalisme global dalam menguasai ranah politik, ekonomi, hukum dan sosial-budaya kita.
Konsensus pragmatik yang menjadi output sistem politik demokrasi, harus dipatuhi para pemain hasil rekrutan dan kaderisasi yang diorganisir oleh konfigurasi kekuatan neoliberal global.
Lantas, apa strategi alternatif yang harus digagas kaum muda termasuk para mahasiswa? Hidupkan kembali geopolitik sebagai ilmunya ketahanan nasional. Buat dan kembangkan gerakan dan perjuangan sosial yang kreatif, inovatif dan kritis.
Artikel ini merupakan presentasi Di depan seminar nasional yang diselenggarakan BEM FEB UI, di Balai Sidang UI, 19 November 2022.
[***]