KedaiPena.com – Rasio elektrifikasi Indonesia memang sudah mencapai 99,60 persen. Tapi sumber listriknya masih mayoritas berbasis sumber daya fosil dan keterjangkauan pada daerah 3T masih belum optimal. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM mendorong transisi energi pada PLN sekaligus melakukan pemetaan distribusi energi secara merata.
Direktur Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Hendra Iswahyudi menyatakan arah pengembangan penyediaan tenaga listrik Indonesia memiliki beberapa tolak ukur.
“Yaitu kecukupan, keandalan, keberlanjutan, keterjangkauan dan keadilan,” kata Hendra dalam diskusi INDEF, Rabu (23/11/2022).
Berdasarkan data September 2022, dinyatakan rasio elektrifikasi telah mencapai 99,60 persen dan rasio desa berlistrik tercatat 99,76 persen.
Dan persentase bauran energi yakni gas 16,75 persen, batubara 66,86 persen, BBM dan BBN 3,46 persen, panas bumi 5,44 persen, air 7,05 persen, biomassa 0,3 persen serta EBT lainnya 0,14 persen.
Untuk persentase berdasarkan jenis, PLTU masih yang tertinggi yaitu 52 persen atau setara 41,6 GW, PLTGU 16 persen atau setara 12,7 GW, PLTG/MG 11 persen atau setara 8,69 GW, PLTA 9 persen atau setara 6,68 GW, PLTD 6 persen atau setara 4,98 GW dan yang lainnya di bawah 3 persen.
“Untuk pembangkit yang masih menggunakan bahan baku fosil saat ini sedang dalam proses transisi ke energi lainnya. Seperti PLTU batubara mulai digantikan dengan biomassa untuk di daerah. Walaupun kendalanya adalah ketersediaan bahan baku biomassa secara stabil dan alih teknologi,” ujarnya.
Untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT), Hendra menyebutkan pemerintah telah melakukan beberapa strategi. Mulai dari pembangunan PLT EBT On Grid, implementasi PLTS Atap, konversi PLTD ke PLT EBT hingga perencanaan eksplorasi dan implementasi EBT Off Grid.
“Untuk mendukungnya, pemerintah juga melakukan retirement PLTU, dimana tidak ada pembangunan PLTU baru mulai 2026, peningkatan infrastruktur ketenagalistrikan, elektrifikasi transportasi dan peralatan rumah tangga serta kebijakan pajak karbon dan perdagangan karbon yang akan diimplementasikan secara penuh pada tahun 2025,” ujarnya lagi.
Dengan hadirnya, Peraturan Presiden No 112 tahun 2022, dinyatakan proses transisi energi diharapkan dapat lebih dipercepat.
“Dalam peraturan yang masih baru ini, ditentukan batas atas dari harga pembangkit energi. Ada juga pemberian kompensasi dan mekanisme pengadaannya,” kata Hendra.
Dan RUU EBET akan menjadi regulasi komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan adil.
“Walaupun masih ada beberapa pasal yang masih harus dibicarakan kembali, terutama dengan pihak Kementerian Keuangan tapi RUU EBET ini akan menjadi bagian dalam memberikan sinyal positif pada pasar global tentang keseriusan Indonesia mendukung prinsip ESG menuju ekonomi hijau,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa