LIBERALISASI politik di Indonesia yang hadir belakangan sejak 2004 membuka banyak kemungkinan perilaku elit politik dengan beragam variasi dan kompleksitasnya.
Di antara kompleksitas perilaku elit politik baru di tengah liberalisasi politik ini adalah perilaku permisif. Miris memang kita menontonnya, sebab dengan mata telanjang kita dipertontonkan perilaku permisif elit politik negeri ini.
Bahkan ada yang menolak satu perilaku permisif tetapi menumbuhsuburkan perilaku permisif lainya. Misalnya ditemukan pada kalimat yang dikonstruksi seperti ini: ” Presiden, Wapres, Anggota DPR, atau Menteri melabrak aturan tidak apa -apa yang penting tidak korupsi!”.
Ini nalar permisif yang berbahaya bagi eksistensi negara modern. Pada satu sisi benar karena menolak korupsi tetapi pada sisi yang lain membolehkan melabrak atau melanggar aturan adalah sebuah kesesatan nalar.
Dalam konteks ini ada nalar permisif elit politik kita yang patut di urai.
Permisivisme dan Nalar Permisif
Permisivisme lahir karena nalar permisif yang tumbuh subur dalam episode sosial tertentu dan tumbuh subur pada episode liberal dan modern.
Pada giliranya ketika nalar permisif tumbuh subur pada taraf tertentu akan membentuk masyarakat permisif (permissive society), masyarakat yang serba membolehkan.
Permisivisme dimaknai sebagai pandangan, sikap dan pendirian yang meyakini bahwa segala cara hidup, perilaku, perbuatan juga yang melanggar prinsip, melanggar norma, melanggar aturan boleh saja dilakukan.
Dalam masyarakat permisif orang berbuat apa saja boleh. Masyarakat yang serba boleh ini oleh Roderic C. Meredith (1998) digambarkan sebagai ” curse of western society” (kutukan masyarakat barat).
Permissive Society menurut Roderic tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth). Tentu saja pandangan ini membuat kehidupan sosial maupun bernegara kehilangan panduan.
Nalar permisif yang kemudian membentuk perilaku permisif telah melahirkan kehidupan sosial yang kehilangan semacam kualitas hidup bersama. Ketenangan, kebahagiaan hidup, keteraturan hidup bersama (social order) dalam sebuah masyarakat permisif tidak hanya sebuah mimpi tetapi sebuah ilusi.
Masyarakat permisif pernah ada pada episode ‘ amazigh’ atau orang bebas (free man) barbarian pada abad ke 5 (467 M). Jika di abad 21 ini di Indonesia tumbuh subur permisivisme maka kita sesungguhnya dalam perspektif peradaban sedang berjalan mundur ratusan tahun seperti kembali ke abad ke 5 tetapi dengan simbol dan perwajahan baru.
Nalar permisif dan permisivisme adalah rangkaian yang saling terkait yang saling memberi kontribusi bagi lahirnya masyarakat permisif. Tidak ada masyarakat permisif tanpa nalar permisif Dalam konteks politik, ketika nalar permisif telah melekat pada elit politik kita ini adalah indikator berbahaya bagi eksistensi sebuah bangsa.
Thomas Lickona (1991) mengingatkan tentang faktor permisivisme dan kaburnya panduan moral (hilangnya keyakinan terhadap eternal truth) sebagai faktor hancurnya sebuah negara.
Mengurai Episode Nalar Permisiv Elit
Nalar permisif elit di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu, tetapi semakin masif dan dengan variasi yang mengerikan terjadi sejak liberalisasi politik tahun 2004 hingga 2016 ini.
Pasca pemilu 2014 nalar permisif menyebar pada dua kutub, kutub rakyat dan kutub elit politik. Rakyat mulai kehilangan nalar kritisnya sehingga permisivisme menjadi semacam pilihan yang mengkrangkeng nalarnya. Sopan santun berbahasa tidak lagi diindahkan, bahasa-bahasa sarkasme menjadi populer dan bebas tersebar melalui media sosial.
Nalar kritis dikalahkan oleh sarkasme permisivisme. Orang -orang terpelajar kaum intelektual yang mengkritik pemerintah berbasis data dibully dengan sarkasme bahasa, dan kemudian dikonstruksi bahwa kebenaran ada pada dominasi sarkasme. Kaum intelektual kemudian melipir kembali berada di menara gading kampus yang sibuk dengan dirinya dan membiarkan kesalahkaprahan mengelola masyarakat dan mengelola negara.
Sebuah permisivisme bahasa dan nalar permisif yang memprihatinkan.
Nalar permisif Elit politik saat ini tumbuh subur. Mereka membangun nalar permisifnya yang diyakini sebagai cara hidupnya menyesuaikan dengan keadaan. Di antara nalar permisif elit politik kita misalnya terlihat pada kalimat-kalimat berikut: “Dalam mengurus negara kantongi saja dulu nasionalismemu”. “Tidak apa-apa korupsi yang penting tidak ketauan”.
“Ngutang sebanyak-banyaknya tidak apa-apa, yang penting negara berjalan”, “Yang lain juga korupsi mengapa saya tidak”.
“Janji tidak impor sapi kan itu dulu waktu kampanye, sekarang kan tidak sedang kampanye, lupakan saja janji kampanye itu, nanti rakyat juga lupa”.
“Tidak apa-apa melanggar aturan yang penting tidak korupsi”. “Tidak apa apa meresmikan proyek tanpa izin yang penting kan ada bukti sedang membangun”. “Biarkan saja pemerintah saat ini membuat kebijakan keliru, tidak usah mengkritik yang penting nanti 2019 gantian saya yang berkuasa”.
Ini semua nalar permisif elit yang merusak sistem sosial dan sistim bernegara. Rakyat kehilangan teladan elit, bahkan rakyat kehilangan idealismenya sebagai bangsa. Nalar permisif elit dalam perspektif teori elit politik melahirkan model kekuasaan oligarkis (mementingkan kelompoknya) dan kleptokratis (kekuasaan para maling).
Nampaknya pembiaran terhadap nalar permisif elit politik juga dilakukan para elit pebisnis. ” Tidak usah mengambil sikap jelas terhadap pemerintah yang salah buat kebijakan ekonomi yang penting kita dapat untung”. “Tidak apa -apa jadi pengusaha merangkap penguasa”, dan lain-lain.
Pertanyaanya adalah mengapa seolah ada pembiaran terhadap nalar permisif elit ini? Sebabnya sangat kompleks. Sebagai negara kita melangkah terlalu jauh meninggalkan ideologinya, sebagai elit telah melangkah terlalu jauh meninggalkan janji-janjinya, sebagai rakyat kita melangkah terlalu cuek dengan semua nalar permisif yang tumbuah subur diantara elit dan rakyat.
Kampanye manifest LGBT adalah wajah yang terlalu terang dari permisivisme publik. Efek lanjut dari nalar permisif ini adalah ada semacam ‘inersia sosial’ di tengah masyarakat kita. Sebuah keadaan sosial yang sakit tetapi tidak merasa sakit, ketika situasi sosial mendekati ajal kematiannya baru tersadar saat itu, dan ketika itu sudah terlambat.
Dalam khazanah teori teori sosial ini situasi berbahaya bagi sebuah bangsa. Keitka permisivisme masih berada pada lapis dan episode rakyat kita masih bisa berharap bahwa elit politik atau pemerintah bisa membenahi.
Tetapi ketika permisivisme sudah memasuki lapis dan episode rakyat dan sekaligus elit, kita kesulitan berharap kepada siapa beban perbaikan bisa ditagih? Semoga elit bangsa ini segera tersadar bahwa tumbuh suburnya nalar permisif hanya akan mempercepat keruntuhan sebuah bangsa.
Kesadaran elit politik untuk mengakhiri nalar permisifnya dan memutus mata rantai nalar permisif adalah jalan penting yang perlu diambil dan sangat berarti, tidak hanya bagi kualitas demokrasi tetapi juga bagi keberlanjutan negara bangsa Indonesia.
Bagi pribadi yang masih meyakini eternal truth maka pengharapan kepada Yang Maha Abadi patut disandarkan. Sebab pada titik itu akan membuka ruang bagi hadirnya optimisme sebagai anak bangsa.
Oleh Ubedilah Badrun, Pengajar Sosiologi Politik UNJ & Ketua Laboratorium Sosiologi UNJ