Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
DI JEPANG pelajaran sejarah dipadukan dengan pelajaran moral, geografi, dan bahasa, yang disebut Kokutai.
Tujuannya supaya warga punya wawasan jati diri bangsa dan memahami masa lalu.
Pelajaran sejarah di sana tidak hanya bertujuan untuk menanamkan loyalitas dan pengorbanan kepada negara, tapi juga untuk mengangkat derajat pemimpin yang dianggap pantas diteladani.
Sehingga esensi Kokutai ialah menuntun masyarakat untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dialami di masa lalu.
Di negeri ini hari ini sejarah seakan sudah final. Kita mengidap apa yang disebut oleh sejarawan Perancis, Marc Ferro, sebagai le silence de l’ histoire (kebisuan sejarah). Sehingga sejarah direduksi sebagai sekedar tahun-tahun kejadian dan nama-nama pahlawan.
Itulah sebabnya elite kekuasaan hari ini hidup di dalam diskontinuitas sejarah, ialah mindset seakan sejarah terpotong-potong antara satu dengan yang lainnya.
Seakan tiada saling berhubungan, dan seakan peristiwa-peristiwa buruk di masa lalu tiada pula bisa dijadikan contoh untuk memperbaiki keadaan hari ini dan masa depan.
Contohnya ialah euphoria Pilpres 2024 saat ini, yang mengulang siklus bermunculannya kembali figur-figur calon presiden yang hanya bermodalkan pencitraan dan ditentukan para bandar.
Euphoria atas kendali partai-partai politik dan para bandar ini seakan menjadikan masyarakat pada umumnya permisif.
Berbagai kegagalan tata kelola pemerintahan yang delapan tahun terakhir ini dijalankan oleh boneka oligarki yang merupakan hasil pencitraan seakan disikapi pula secara permisif.
Tentang pencitraan di dalam Pilpres, tokoh nasional Dr Rizal Ramli sendiri mengakui, pencitraan di dalam kontestasi memang perlu. Tapi hal itu bukan syarat utama. Karena yang lebih penting ialah track record, integritas, kompetensi, dan kemampuan diri sebagai problem solver.
“Tokoh-tokoh kemerdekaan dikenal karena visi, integritas dan track record-nya. Yang sangat merusak itu pencitraan berbayar, seperti pollingRp, kontrak media berbayar, influencerRp, dan buzzersRp, yang akhirnya menipu rakyat,” tulis Rizal Ramli di akun twitter-nya baru-baru ini.
Ia menambahkan, bandar yang menentukan figur calon presiden telah menghasilkan pemimpin-pemimpin KW2 dan KW3.
“Bandar yang tentukan. Bukan Munas Partai. Hasilnya pemimpin-pemimpin KW2 dan KW3,” tandas Rizal Ramli.
Hal ini terjadi, menurutnya, karena dipertahankannya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal faktanya ambang batas tersebut tidak ada di dalam UUD ‘45.
Ambang batas ini, lanjutnya lagi, dipaksakan oleh Mahkamah Keluarga, yang sudah mati-logika dan mati-nurani.
“Apa ndak kapok ya milih presiden hasil pencitraan? Rakyat makin susah, kebijakannya pro-oligarki, hukumnya amburadul, KKN-nya sangat meluas. Ini mau cari boneka baru oligarki. Di antaranya yang bisanya cuma jingkrak-jingkrak doang,” papar Rizal Ramli.
[***]