KedaiPena.Com – Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) bisa menjadi jawaban untuk meningkatkan angka elektrifikasi desa-desa yang masih rendah. Saat ini 12.659 desa belum sepenuhnya terang. Bahkan 2.519 desa di antaranya masih gelap gulita. Optimalisasi EBT juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Berbagai persoalan inilah yang kami coba bahas dan carikan solusinya dalam seminar hari ini. Dari sini diharapkan bisa diidentifikasi apa saja yang menjadi bottleneck penyebab progress program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW sampai 2019 tidak optimal,†ujar Ketua Umum Forum Purnabakti Eselon Satu Indonesia (Forpesi) Iskandar Andi Nuhung di Jakarta, ditulis Rabu (30/11).
Selama ini konsumsi listrik masyarakat dan dunia usaha dibatasi. Hal ini disebabkan ketersediaan listrik memang sangat terbatas. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak bisa maksimal. Hal ini berdampak pada penyerapan tenaga kerja juga menjadi lambat yang berdampak pada rendahnya kesejahteraan rakyat.
Seperti diketahui, sebagai penggerak ekonomi, listrik di Indonesia banyak dihasilkan dari energi fosil, terutama minyak dan batubara. Padahal cadangan energi fosil semakin terbatas. Selain itu, keduanya juga menghasilkan dampak lingkungan yang cukup serius. Pada saat yang sama, tren global justru sedang mengarah pada keharusan pengurangan emisi gas rumah kaca.
“Pada titik ini peran EBT menjadi sangat vital. Sayangnya, hingga kini pemanfaatan EBT masih jauh dari optimal. Di sisi lain, pemerintah harus mengalokasikan dana yang cukup besar, baik melalui APBN maupun ABPD untuk membangun pembangkit-pembangkit bertenaga fosil. Solusinya, kita harus memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan. Dengan melibatkan masyarakat dan swasta, beban berat keuangan pemerintah bisa dikurangi,†papar Andi Nuhung yang juga mantan Dirjen Industri Primer Kementan.
Di kesempatan yang sama, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan, sebetulnya pemerintah sudah menerbitkan serangkaian peraturan dan perundangan terkait pemanfaatan energi terbarukan. Bahkan sudah ada juga peraturan setingkat Permen.
Tidak perlu APBN/APBD
Meski demikian, lanjut dia, di lapangan tetap tidak bisa dieksekusi dengan baik. Jika saja semua kendala di lapangan itu bisa diatasi, tentu semua pihak akan diuntungkan. Pemerintah tidak
perlu lagi mengalokasikan APBN dan APBD untuk membangun pembangkit bertenaga fosil. Di sisi lain, dunia usaha juga memperoleh peluang usaha yang berprospek bagus. Sementara masyarakat dan kalangan industi juga diuntungkan, karena kebutuhan listrik mereka terpenuhi dengan harga lebih murah.
“Tantangan yang ada kini adalah, bagaimana kita memanfaatkan energi terbarukan ramah lingkungan untuk menghasilkan listrik. Sumber energi terbarukan kita sangat berlimpah dengan potensi sangat besar. Kita punya matahari yang bersinar sepanjang tahun, angin, panas bumi atau geothermal, ombak, air, dan angin. Sayang kalau semua itu tidak bisa kita manfaatkan secara maksimal,†ungkap Surya.
Sementara itu, Chairman PT Ffaireness Indonesia Daya Sumarsono mengingatkan karakteristik Indonesia yang kepulauan. Dengan jumlah 17.000 lebih pulau dan membentang di sepanjang ribuan kilometer di garis katulistiwa, penyaluran listrik menjadi persoalan yang tidak mudah.
Kita, kata Sumarsono yang pernah menjadi Direktur dan Komisaris Pertamina, tidak mungkin membangun pembangkit di Jawa dan menyalurkannya ke Lombok-NTT apalagi Papua. Tentu dibutuhkan investasi sangat besar untuk membangun jaringan transmisi. Belum lagi bicara loses arus yang pasti sangat besar, sehingga tidak efisien.
Menurut CEO FID, Harry Santoso solusinya, kita harus membangun pusat-pusat pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan ramah lingkungan secara terdesentralisasi. Memang tidak besar, mungkin hanya beberapa MW saja.
“Namun, dengan cara seperti itu, kita bisa memanfaatkan sumber energi sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Hasilnya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana, pengusaha ada peluang bisnis, dan kebutuhan masyarakat serta kalangan industri terpenuhi. Semua senang, semua diuntungkan,†papar Harry yang juga mantan Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kemenhut.
Laporan: Anggita Ramadoni