KedaiPena.Com – Di antara yang membuat wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) semakin turun adalah putusannya yang mulai tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Sejak Arief Hidayat menjabat sebagai ketua, ia mencatat sekurangnya ada enam putusan MK yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi.
Demikian dikatakan Fritz Edward Siregar, Pengajar HTN STIH Jentera dalam keterangannya kepada KedaiPena.Com, Jumat (27/1).
“Pertama, perluasan objek praperadilan. Pada 28 April 2015, MK mengabulkan permohonan terkait uji materi pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan. Permohonan diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, Karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung. Melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2015, MK memutuskan untuk memperluas objek permohonan praperadilantidak saja tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan namun menambah tiga hal baru yang termasuk dalam objek praperadilan yaitu, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” ujar dia.
Kedua, mantan narapidana dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pada 9 Juli 2015 MK mengabulkan permohonan agar Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan (Putusan MK Nomor 42/PUU-XII/2015).
“Ketiga, larangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Pada akhir Desember 2015, MK mengabulkan permohonan dari Anna Boentaran, istri Djoko D Tjandra, buronan dalam perkara skandal korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali. Dalam putusannya, majelis hakim MK menyatakan bahwa jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” sambungnya.
Keempat, mantan terpidana (korupsi) dapat mengikuti Pilkada di Aceh. Pada 23 Agustus 2016, MK mengambulkan gugatan Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 67 ayat (2) huruf g berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasâ€.
Dan kelima, penghapusan pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi. Pada 7 September 2016, MK mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran “pemufakatan jahat” yang diajukan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang sedang dalam proses penyelidikan di Kejaksaan Agung.
Pemohon mengajukan uji materi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.Kata “pemufakatan jahat” dalam pasal ini mengacu pada Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016, MK menyatakan khusus istilah “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP tidak dapat dipakai dalam perundang-undangan pidana lainnya.
Serta keenam, memutuskan pasal 2 dan 3 UU Tipikor harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata (Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016). Putusan akan mengerogoti upaya penyidikan perkara korupsi yang dilakukan penegak hukum. Syarat untuk menggunakan pasal tersebut menjadi sangat ketat da sulit. Ada banyak perkara yang tertunda karena belum menunggu proses perhitungan potensi kerugian Negara. Diantaranya adalah kasus dugaan korupsi dalam proyek e-KTP.
Lemahnya pengawasan juga merupakan akibat dari hasil pengujian kewenangan Komisi Yudisial di tahun 2006. Mahkamah Konstitusi justru menghilangkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi.
Laporan: Muhammad Hafidh
Foto: Istimewa