20 Oktober 2018 menjadi momentum penanda bahwa Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menahkodai Negara Republik Indonesia selama 4 (empat) tahun. Fokus kerja pembangunan infrastruktur cukup masif dilakukan, namun di sisi lain, terdapat juga reformasi kebijakan hukum yang tidak dapat dipisahkan dari bagian visi misi Pemerintahan Joko Widodo.
Dalam 9 (sembilan) cita atau biasa kita sebut Nawacita, terkait dengan agenda reformasi kebijakan hukum dituangkan dalam cita ke-4 yaitu menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
Nawacita ke-4 tersebut diturunkan menjadi 42 prioritas utama untuk mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan serta tertuang dibakukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019.
ICJR mencatat bahwa dalam perkembangan dan pencapaian agenda reformasi kebijakan hukum yang dijalankan oleh Pemerintahan Joko Widodo dirasakan belum memenuhi dan belum merealisasikan apa yang tertuang dalam Nawacita ke-4. Catatan ICJR atas hal tersebut sebagai berikut:
Pertama, terkait Reformasi kebijakan pidana baik materil maupun hukum acara. Terkait hal ini, maka tidak dapat dipisahkan dari Rancangan KUHP (RKUHP). Keberpihakan RKUHP terhadap HAM, perlindungan anak, perempuan dan kelompok marjinal, pemberantasan korupsi, sampai dengan reformasi penegakan hukum masih cukup jauh.
Banyak ketentuan dalam RKUHP yang sama sekali tidak berpihak pada kelompok sasaran yang ingin dilindungi oleh Pemerintah. Secara garis besar, RKUHP bersifat sangat kolonial dan khas pemerintahan otoriter, hampir mayoritas pasal yang bersifat kolonial dalam KUHP buatan pemerintah kolonial belanda, masih diatur dalam RKUHP.
Sedari awal pembahasan RKUHP tidak didahului dengan evaluasi dan harmonisasi semua ketentuan pidana yang ada. Alhasil pembahasan RKUHP dilakukan tanpa arah yang jelas. Evaluasi jelas penting untuk mengatasi masalah disharmoni peraturan. Kegagalan dalam harmonisasi peraturan nantinya berujung pada tingginya angka pemenjaraan di Indonesia.
Di sisi yang lain, reformasi hukum acara pidana jalan di tempat. Pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R KUHAP) masih belum tersentuh sama sekali. Dua Perppu terakhir yang dirancang oleh Pemerintah dan telah disahkan DPR, yaitu Perppu terkait Perlindungan Anak dan Perppu Pemberantasan Terorisme, sama sekali tidak menyeimbangkan HAM dengan efektifitas penegakan hukum, dimana di dalamnya memuat pengaturan yang begitu berbahaya pada perlindungan HAM.
Kedua, reformasi kebijakan sebagai upaya penghapusan hukuman mati di Indonesia sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia. Meskipun Indonesia masih dalam bayang-bayang sistem peradilan yang masih belum menjamin keadilan, namun penuntutan dan putusan pidana mati masih terus terjadi, menunjukkan trend yang cukup meningkat di tiap tahunnya.
Pemerintah Indonesia secara internasional menunjukkan sikap dualisme terhadap hukuman mati, melalui kementerian luar negeri secara terbuka menyatakan bahwa penyelamatan warga negara Indonesia di luar negeri dari ancaman pidana mati sebagai sebuah keberhasilan, namun di dalam negeri tuntutan pidana mati masih terus terjadi, bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah seolah mendukung digunakannya pidana mati dengan berbagai alasan.
ICJR mengapresiasi sikap pemerintah yang memilih untuk mendukung rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) 2017 tentang moratorium eksekusi mati dan juga rekomendasi terkait jaminan fair trial terhadap kasus hukuman mati. Namun hal tersebut tidak ditindaklanjuti secara konkret oleh pemerintah. Pemerintah masih mensahkan peraturan yang memuat hukuman mati, yaitu UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan UU No 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme yang masih menerapkan hukuman mati.
Ketiga, terkait situasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi masih dalam ancaman dan menunjukkan masa suram. Disahkannya UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak membawa angin segar bagi upaya perlindungan terhadap kebebasan berpendapat di ranah internet.
Rekomendasi MK untuk segera merevisi UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang memuat ketentuan mutitafsir juga belum mendapatkan perhatian di tengah maraknya tuduhan penodaan agama yang meningkat. Penggunaan pasal makar juga justru menyasar kepada ekspresi politik.
Jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan berorganisasi justru diciderai dengan lahirnya UU No. 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (ormas). Ditambah lagi, terdapat ketentuan-ketentuan yang akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam RKUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR.
Keempat, potret pemidanaan dalam masalah promosi hukuman badan. Pemerintahan Joko Widodo juga masih melegitimasi penggunaan hukuman badan/tubuh (Corporal Punishment) di Indonesia melalui Qanun Jinayat yang diterapkan di Provinsi Aceh. Selain penerapan hukum cambuk di Aceh, pemerintah melalui pengesahan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, justru menempatkan Hukuman Kebiri sebagai pidana tambahan yang wajib dijatuhkan, padahal disatu sisi Indonesia adalah negara peserta konvensi anti penyiksaan dan bentuk penghukuman tidak manusiawi. Kebiri jelas bertentangan dengan semangat konvensi tersebut.
Kelima, kebijakan pemasyarakatan sebagai usaha menyeluruh membenahi sistem peradilan pidana. Gagalnya pelaksanaan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan serta kegagalan pemerintah dalam mengembangkan bentuk baru dari alternatif pemidanaan non-pemenjaraan menjadi salah satu penyebab utama terus meningkatnya angka overcrowding di Indonesia.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui kebijakan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rutan dan Lapas menyatakan bahwa overkriminalisasi merupakan permasalahan yang memberikan sumbangsih terhadap overcrowding yang terjadi di Indonesia serta mengkritik kebijakan-kebijakan dalam RKUHP yang justru memuat lebih banyak ketentuan pidana yang jelas akan berdampak pada penambahan kepadatan hunian di Lapas.
Sayangnya, pesan-pesan yang disampaikan melalui kebijakan tersebut tidak diindahkan sama sekali oleh pihak Pemerintah dan perumus RKUHP, masalah koordinasi antar organ pemerintah jelas terlihat dari fenomena ini.
Keenam, sistem peradilan pidana anak yang tak boleh luput dari fokus reformasi hukum pidana. Peraturan pelaksana UU SPPA sampai saat ini tak kunjung diselesaikan. Berdasarkan UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk membuat enam materi dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan dua materi dalam bentuk Peraturan Presiden.
Namun sampai saat ini peraturan pendukung masih belum semua tersedia. Pemerintah baru merampungkan lima dari delapan substansi peraturan pelaksana UU tersebut. Salah satu permasalahan yang memprihatinkan lainnya adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan penahanan anak.
UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Ruang Pelayanan Khusus Anak (RPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai pengganti tempat Penahanan, Pembinaan dan Lapas anak.
Namun, ketersediaan insfrastruktur tersebut minim dan informasi publik tentang hal ini tidak pernah tersedia dengan mudah. Selain itu, berdasarkan Pasal 94 ayat (4) UU SPPA dijelaskan bahwa tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang akhirnya diejawantahkan melalui PP No 8 tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Namun berdasarkan pantauan ICJR, evaluasi tersebut belum pernah dilakukan, hasil evaluasi tersebut tidak pernah dapat diakses oleh publik. Hal ini jelas menandakan 4 tahun pemerintahan presiden Joko Widodo masih menyisakan masalah dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Ketujuh, penguatan kebjikan perlindungan saksi korban sebagai perwujudan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia. Fokus yang diberikan oleh Pemerintahan Joko Widodo dalam konteks tindak pidana kekerasan lebih difokuskan pada kebijakan penghukuman, bukan pada perlindungan korban. Tidak ada kebijakan hukum berarti yang dicetuskan dari pemerintah terkait dengan perlindungan saksi dan korban. Satu pencapaian adalah diakomodirnya hak korban secara lebih detail dalam UU No 5 tahun 2018 tentang Terorisme, namun ide itu lahir dari pembahasan di DPR, bukan usulan pemerintah.
Atas dasar ketujuh catatan diatas, ICJR merekomendasikan kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo:
1. Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus terlebih dahulu melakukan evaluasi terkait kebijakan hukum pidana, memastikan adanya perlindungan HAM dalam sistem peradilan pidana, serta menyusun peta jalan pembaharuan hukum pidana, khusus dalam konteks KUHP, maka alternatif pembaharuan harus dipikirkan secara matang, termasuk didalamnya menghadirkan opsi amandemen secara bertahap pada kebijakan hukum pidana di Indonesia.
2. Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menginstruksikan moratorium penuntutan dan penjatuhan hukuman mati serta melakukan langkah-langkah nyata untuk penghapusan hukuman mati, seperti peninjauan terhadap kasus-kasus terpidana mati untuk melihat apakah ada indikasi unfair trial atau kesalahan yang terjadi dan menarik pidana mati dalam rancangan UU yang sedang dibahas.
3. Pemerintahan Presiden Joko Widodo mengevaluasi pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan warga negara dalam berekspresi dan berpendapat baik di dalam UU sektoral, KUHP agar dapat segera direvisi ataupun Pemerintah segera menarik pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam RKUHP.
4. Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menghentikan praktik hukuman cambuk yang melanggar Hak Asasi Manusia serta mengevaluasi regulasi yang melanggar aturan Hak Asasi Manusia tentang anti penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya.
5. Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus segera melakukan perbaikan terhadap kebijakannya dengan memperhatikan secara serius penyebab terjadinya overcrowding dan mengambil langkah tepat yang berdampak tidak hanya dalam jangka pendek saja, salah satunya lewat reformasi kebijakan hukum pidana tentang alternatif pidana non pemenjaraan
6. Memperbaiki kerja pemerintahan dalam konteks penanganan kasus tindak pidana untuk memperhatikan korban, tidak hanya penghukuman. Serta Melengkapi segera regulasi pelaksana berbagai jenis peraturan perundang-undangan untuk memberikan penguatan terhadap korban.
Oleh Anggara, Direktur Eksekutif ICJR