SETIAP hajatan politik di Indonesia selalu menjadi ujian bagi kredibilitas lembaga survei.
Ada kalanya hasil survei lembaga survei memiliki tingkat presisi yang tinggi dibanding hasil resmi pemilu. Ini artinya ada konsistensi.
Tapi ada kalanya hasil survei lembaga survei memiliki tingkat presisi yang rendah dibanding hasil resmi pemilu. Ini artinya tidak konsisten.
Ini terjadi di beberapa kali pemilu di Indonesia. Baik pemilu nasional maupun pemilu kepala daerah.
Fakta itu (rendahnya presisi) membuka ruang kemugkinan analisis bahwa lembaga survei memang berpeluang melakukan kesalahan.
Kesalahan fatal itu kemungkinan terjadi pada saat sampling diimplementasikan di lapangan, ada semacam inkonsistensi atau ketidaktaatan pada metodologi sampling yaitu saat mengambil sampel untuk diwawancarai.
Berubah teknik dari multistage random sampling atau sistematic random sampling ke insidental sampling atau purposive sampling.
Selain itu kesalahan fatal juga dimungkinkan jika berkali-kali menggunakan surveyor yang sama dan di daerah sampel yang sama. Ini membuka ruang kemungkinan hadirnya subyektifitas surveyor di lapangan.
Oleh karena itu, hasil survei bukan kebenaran absolut, ada ruang kemungkinan kesalahan.
Demikian pula dengan quickcount karena juga menggunakan teknik sampling dan mungkin sampel TPS-nya sama dengan TPS sampel pada pemilu pemilu sebelumnya.
Padahal TPS pemilu 2019 sudah berubah, ada penambahan TPS dan perilaku pemilih yang berubah.
Semua lembaga survei menggunakan sampel yang sama, rata-rata ambil sampel 2000 sampel TPS dari 800.000 lebih TPS di seluruh Indonesia.
Jadi teknik sampling ambil 2.000 TPS tidak menunjukan representasi jika teknik sampling-nya tidak konsisten.
Ruang kemungkinan kesalahan juga terjadi pada saat entry data. Bisa saja data diubah atau terubah karena problem teknologi maupun problem human error.
Pemilu 2019 ini dari dua kubu pasangan capres-cawapres 01 dan 02 melakukan survei dan quickcount. Kedua kubu mengumumkan dengan hasil berbeda.
Kritik tentang peluang kesalahan survei dan kesalahan quickcount tentu berlaku untuk tim survei atau tim quickcount dari kedua kubu. Artinya quickcount dari kubu 01 maupun 02 keduanya berpeluang melakukan kesalahan yang sama.
Lalu, bagaimana solusinya? Solusinya ada empat yaitu secara metodologis, secara teknologi, secara regulasi dan secara sosiologis.
Pertama, secara metodologis, quickcount kedua kubu harus dibuka datanya kepada publik terkait data proses sampling-nya dan data mentahnya.
Kedua, secara teknologi yang digunakan dalam quickcount. Kedua kubu harus bersedia diuji ulang teknologi yang digunakan. Menggunakan aplikasi apa dan seperti apa upload data dari TPS dilakukan.
Ketiga, secara regulasi perlu diatur secara tegas keberadaan lembaga survei ini terutama perlunya aturan larangan pada lembaga survei yang menjadi konsultan dari kontestan pemilu.
Bagi lembaga survei yang menjadi konsultan capres-cawapres dan konsultan partai politik harus dilarang mempublikasikan hasil surveinya.
Cukup untuk internal partai atau capres-cawapres yang menjadikanya konsultan. Tetapi bagi lembaga independen seperti lembaga riset universitas boleh mempublikasikan hasil survei dan quickcount-nya.
Keempat secara sosiologis masyarakat juga perlu dididik agar tidak reaktif dan tidak emosional dalam melihat hasil survei maupun hasil quickcount.
Rasionalitas masyarakat menjadi sangat penting dalam merespon hasil quickcount apalagi di era masyarakat digital (digital society) saat ini.
Apalagi kelak yang mengumumkan hasil quickcount adalah lembaga independen. Ini sangat penting diingatkan agar tidak menaikkan ketegangan sosial ditengah tengah masyarakat.
Jika empat hal diatas diterapkan, saya meyakini pemilu akan berjalan dengan minim ketegangan dan minim konflik sosial.
Salam Politik Sehat
Oleh Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik UNJ