KedaiPena.Com – Ada empat argumentasi mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) harus menolak permohonan Perindo yang menghendaki Presiden dan Wakil Presiden boleh mencalonkan dalam pilpres 2019 mendatang meskipun sudah dua kali menjabat Presiden atau Wakil Presiden.
Hal tersebut disampaikan oleh Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun saat menanggapi permohonan partai Perindo perlihal masa jabatan Capres dan Cawapres.
Argumentasi tersebut, menurut Aktvisis 98 ini dapat dilihat dari segi konstitusional, subtansional, spirit historis dan empirik
“Argumen konstitusional. Bahwa permohonan judicial review tersebut dalam UUD 1945 akan terkait dengan pasal 7 UUD 1945. Dalam pasal 7 tersebut sangat amat jelas bahwa Presiden dan wakil Presiden menduduki jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan,†beber Ubed kepada KedaiPena.Com, Rabu, (26/7/2918).
“Jadi ini sangat amat jelas bahwa berturut turut atau tidak berturut turut seseorang yang menjadi Presiden atau Wakil Presiden selama dua periode tidak boleh lagi mencalonkan diri sebagai calon Presiden atau wakil presiden untuk ketigakalinya dan seterusnya,†sambung Ubed.
Ubed menjelaskan, dalam hal ini warga negara seperti Jusuf Kalla yang sudah dua kali menjadi wakil Presiden tidak boleh lagi mencalonkan atau dicalonkan sebagai calon wakil Presiden pada pilpres 2019 mendatang.
“Karena kalau dari argumentasi soal substansial nilai-nilai Demokrasi. Dengan menggunakan perspektif nilai demoktrasi di antaranya adanya ‘orderly succession of rules’ maka apa yang terdapat dalam pasal 7 UUD 1945 secara ilmu politik benar bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden harus dibatasi.Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya diktatorisme dan absolutisme kekuasaan,†jelas Ubed.
Jadi, lanjut Ubed, jika ada upaya untuk menuntut hak demokrasi dengan menunutut agar masa jabatan Presiden dan wakil Presiden tidak boleh dibatasi maka hal itu telah bertentangan dengan nilai-nilai Demokrasi sekaligus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri sedianya juga tidak berhak menguji dan mengubah UUD 1945. Untuk mengubah UUD 1945 prosesnya harus melalui amandemen dan itu hanya bisa dilakukan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
“Jika melihat argumen spirit historis gerakan reformasi 1998. Salah satu tuntutan utama gerakan reformasi 98 adalah masa jabatan Presiden dan wakil Presiden harus dibatasi agar tidak lagi terjadi pemerintahan yang otoriter dan korup. Untuk itu perlu ada amandemen khusus masa jabatan presiden dan wakil Presiden hingga kemudian melalui proses Amandemen berhasil memasukan pasal 7 dalam UUD 1945 yang membatasi masa jabatan tersebut,†tegas Ubed.
Tak hanya itu, jelas Ubed, ada juga argumen empirik yang menjelaskan bahwa masa lalu terkait pentingnya pembatasan kekuasaan telah banyak diurai oleh banyak ilmuwan. Sehingga kemudian para ilmuwan tersebut menarasikanya dalam kesimpulan penting untuk mengingatkan agar tidak terjadi diktatorisme dalam kekuasaan.
“Diantara ilmuwan tersebut adalah Charles Louis de Secondant Montesquieu (1689-1755) yang menyatakan bahwa kekuasaan itu membawa sifat tamak, apalagi jika tidak dibatasi. Itulah sebab itu Montesquieu kemudian memperkenalkan konsep trias politika,†beber dia.
Laporan: Muhammad Hafidh