KedaiPena.Com – Akhir 1920-an Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Mengirimkan seorang ahli perminyakan Belanda F.C Van Heurn untuk‎ membantu perkembunan di Selatan Aceh. Ia menemukan tantangan dari pemimpin-pemimpin lokal, “Datuk dan Ulubalang” terhadap invasi kolonial orang asing yang ingin mengkonversi hutan dan membuka pertambangan, khususnya di lokasi hutan di puncak Gunung Leuser.Â
“Leuser atau leusoh, dalam bahasa Gayo kuno bermakna “terselubung di Away”, dijaga kelestariannya oleh pendulum lokal,” kata ‎Emil Salim, ‎Guru Besar (Emiritus) dan Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia di Jakarta, ditulis Jumat (4/11).‎
‎Tuntutan para Datuk dan Ulubalang menarik perhatian Van Heurn, yang juga mencintai alam untuk mempelajari dan lebih memahami masyarakat lokal. Dengan dukungan kalangan cendekiawan dari “Komisi Belanda untuk Prokteksi Alam Internasional” dan “Perhimpunan Melestarikan Monumen Alami” yang dibentuk 1925, Van Heurn mempelajari lebih debat kondisi lingkungan kawasan Gunung Leuser ini.Â
“Untuk kemudian melahirkan cita-cita membangun semacam “monumen alami” dari kawasan Leuser bersama para pemimpin-pemimpin lokal,” ‎Emil Salim menegaskan.
Setelah berapa lama merundingkan pelestarian kawasan ekosistem Leuser dengan Pemerintahan Kolonial, para Pemimpin-pemimpin memperoleh kesempatan untuk berunding dengan Gubenur Aceh, A.Ph. Van Aken. Perundingan yang lama berakhir dengan tercapainya kesepakatan antara Gubenur Aceh dengan pemimpin-pemimpin lokal, para Datoek-datoek dan Oeloebalang pada 6 Februari 1934 yang dikenal dengan “Kesepakatan Tapak Tuan” dan disahkan oleh Gubenur Aceh dengan Decree no.317/35 pada 3 Juli 1935.
Areal seluas ratusan ha secara resmi disepakati menjadi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). kemudian ada tambahan areal Kluet seperti bagian Selatan Barat tanah-rendah sekitar “laot Bangko” di Kawasan. Kluet di Utara desa Bakongan dilestarikan sebagai jalan gajah yang “membutuhkan garam dari pantai dan laut”.
“Dalam proses waktu tertentu berbagai areal ditambah untuk memberi ruang hidup bagi 7.500 ekor Orang Utan Sumantra, 250 ekor Harimau Sumantra, dan 700 ekor Gajah khas Sumantra. Beserta jutaan maklu alami tropis yang khas dalam ekosistem Leuser ini. Sehingga Kawasan Ekosistem Leuser memiliki tiga ciri penting,” tambah dia.‎
Yang pertama, Kawasan Ekosistem Leuser menghidupi perwakilan lengkap sejumlah plasma nutfah (genetic dan bio-resources) yang unik mewakili kawasan Indonesia-Barat dan Malaysia.‎
Kedua, Kawasan Ekosistem Leuser merupakan satu dari 25 kawasn ekosistem dunia yang penting dan unik.‎
Ketiga, Pegunungan Kawasan Leuser merupakan daerah penampung curah hujan (water catchment area) yang besar dan penting di pulau Sumatra, sehingga menjadi sumber air penting, lebih-lebih dalam menanggapi kekeringan yang meningkat akibat “perusahaan Iklim” sekarang Ini;
“Ketahuilah bahwa pemimpin-pemimpin lokal kita di masa itu sudah memiliki kearifan alam yang di topang oleh keyakinan hidup beragama Islam yang peka terhadap kelestarian alam.‎
Menyadari hal ini maka Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan Presiden nomor 33 tahun 1998 yang memuat ketentuan-ketentuan tentang Kawasan Ekosistem Leuser.
Perkembangan pembagunan secara global juga berkembang dengan semakin sadar akan perlunya diperhitungkan keberlanjutan sumber daya alam dan ekosistem dalam pola pembangunan, yang kemudian melahirkan “pola pembagian berkelanjutan”.
Dalam pola pembangunan ini, kemajuan yang dikejar tidak lagi terbatas hanya pada kemajuan ekonomi, mengejar kenaikan Produk Diomestik Bruto (PDB) mencakup kemajuan material semata-mata tetapi juga mencakup kemajuan masyarakat sosial dan pelestarian sistem ekologi alam. Pembagunan berkelanjutan tidak terbatas pada segi kuantitas ekonomi, tetapi juga memuat kemajuan kualitas manusia, keadilan sosial dan kualitas lingkungan alam.
“Bertolak dari pola pembangunan berkelanjutan ini, dalam pembangunan diperhitungkan manfaat yang optimal bagi bagian besar masyarakat,” Emil melanjutkan.‎
Khusus mengenai Kawasan Ekosistem Leuser, suatu studi valuasi nilai ekonominya oleh Prof. Pieter van Beukering dan Herman Cesar, dari “Vrije University Nederland “mengungkapkan bahwa “Distribusi Total Ecosystem Value” kawasan Leuser menunjukan distribusi manfaat bagi “local Community” rakyat lokal dan “Elite Industry” usahawan bermodal uang dalam “pola deforestasi” dan “pola konservasi” sebagai berikut; Pertama ‎Pola Deforestasi: Manfaat Local Community 45%: Elite industry 23%. Kedua ‎Pola Conservasi: Manfaat Local Community 56%; Elite industry 11%;
Tampaklah bahwa dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser, Kelompok “elite industri” akan mendorong agar manfaat terbesar baginya tercapai (11%) melalui pola deforestasi. Sedangkan komunitas lokal akan lebih mendorong pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser ke arah Konservasi yang memberi manfaatnya paling besar baginya (56%).
Kenyataan politik di lapangan nyata, kadar kebebasan yang sesungguhnya berlaku dan kadar moralitas kadar pemimpin di lapangan akan sangat bepengaruh pada gerak arah bandul keputusan jauh ke “Kelompok Komunitas” atau “Kelompok elite industri Lokal”.
“Maka beralihlah masalah tentang keberlakuan hukum Kawasan Ekosistem Leuser dari masalah teknis ilmiah ke masalah moral kodrat pengambil keputusan yang juga menghendaki keputusan hukum berlandaskan moral,” tandasnya.
(Prw/Nop)‎
