KedaiPena.Com – Memperingati Hari Keadilan Internasional 2016, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyerukan agar pemerintah Indonesia segera merealisasikan keadilan menyeluruh bagi para korban pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).
“Sebagai anggota dari Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional (CICC Indonesia), menyerukan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan peringatan tersebut sebagai momentum untuk menciptakan keadilan yang menyeluruh kepada setiap korban pelanggaran HAM sekaligus memerangi praktik impunitas yang kerap kali diingkari hingga saat ini,†ujar Deputi Direktur Pengembangan Sumberdaya HAM-ELSAM, Wahyudi Djafar dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (17/7).
Wahyudi menyebutkan, ada dua langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pertama, dengan melakukan pengesahan (aksesi) Statuta Roma ke dalam hukum nasional di Indonesia, sebagaimana mandat RANHAM 2004-2009 dan 2011-2014.
“Proses ini selanjutnya harus diikuti dengan upaya pelembagaan prinsip dan ketentuan Statuta Roma ke dalam sistem hukum nasional Indonesia, termasuk hukum pidananya, sebagai langkah preventif bagi potensi terjadinya pelanggaran yang berat HAM, sekaligus sebagai langkah represif untuk mengatasi kasus-kasus seperti itu di masa depan,†kata Wahyudi.
Langkah kedua, yakni dengan segera menyediakan mekanisme keadilan dan pemulihan yang efektif bagi korban dan/ atau keluarga korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
“Yang berkesesuaian dengan standar internasional dalam UN Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law 2005, maupun UUD 1945 dan berbagai ketentuan perundang-undangan nasional,†terangnya.
Menurut Wahyudi, di kawasan Asia Tenggara, sampai saat ini baru dua negara saja yang menjadi negara pihak (anggota) ICC, yakni Filipina dan Kamboja. Sementara di Malaysia, aksesi Statuta Roma telah mendapatkan persetujuan Kabinet melalui keputusan di tahun 2011 lalu.
Indonesia, lanjutnya, telah berkomitmen bahwa pengaksesian Statuta Roma merupakan bagian dari agenda nasional, sebagaimana dituangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009 dan lagi pada RANHAM tahun 2011-2014.  Sayangnya, walaupun telah diterbitkan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2015 tentang RANHAM tahun 2015-2019, rencana tersebut belum direalisasikan.
“Semestinya agenda pengesahan Statuta Roma menjadi bagian yang integral dari Komitmen pemerintah untuk melakukan pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu dan pemulihan hak korban, seperti ditegaskan dalam RPJMN 2015-2019. Pengesahan Statuta Roma ini menjadi upaya serius dari negara untuk mencegah keberulangan (non-recurrence) atas berbagai praktik pelanggaran hak asasi manusia, seperti yang terjadi di masa lalu,†kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, aksesi Statuta roma sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo yang ditegaskan dalam janji politik Nawa Cita, sebagai visi misi pemerintahannya. Yang menyatakan akan “menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang menyeluruh dan berkeadilanâ€.
“Ironisnya, perkembangan dalam beberapa waktu terakhir justru memperlihatkan belum adanya titik terang dari upaya realisasi arah dan komitmen tersebut. Semestinya mengacu pada mandat UUD 1945 dan berbagai komitmen untuk melaksanakan kewajiban internasionalnya, pemerintah segera merealisasikan janjinya untuk memberikan rasa keadilan dan pemulihan bagi setiap korban pelanggaran hak asasi manusia,†imbuh Wahyudi.
Lebih jauh Wahyudi menyebutkan, guna menjamin terciptanya ketertiban di seluruh dunia berlandaskan pada prinsip perdamaian dan keadilan sosial, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia sesungguhnya telah juga turut secara aktif berpartisipasi dalam mengirimkan warga negaranya untuk menjadi bagian dalam Operasi Penjaga Perdamaian PBB (UN Peacekeeping Operations).
Sebagai operasi yang berfungsi untuk menjaga perdamaian dan keamanan, melindungi dan memajukan HAM, sekaligus membantu pemulihan aturan hukum di suatu wilayah, Indonesia sampai tanggal 30 November 2015 telah mengirimkan sekitar 124.517 personil yang tersebar di 16 titik Operasi Penjaga Perdamaian PBB.
“Oleh karenanya, pengesahan terhadap Statuta Roma menjadi sesuatu yang sangat penting bagi Indonesia, karena ICC justru melindungi personil pasukan penjaga perdamaian dari kemungkinan tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius internasional dan bukan sebaliknya mengancam eksistensi pasukan penjaga perdamaian yang melakukan operasinya di daerah konflik. Statuta Roma menyediakan panduan yang lebih lengkap tentang aturan pelibatan (rules of engagement) pasukan perdamaian, sehingga anggota pasukan dapat memahami dengan lebih jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menjalankan tugasnya,†urai Wahyudi.
Diketahui, tanggal 17 Juli setiap tahunnya masyarakat internasional memperingati International Justice Day atau yang dikenal dengan ‘Hari Keadilan Internasional’. Hari ini bertepatan dengan adopsi secara resmi Statuta Roma (Rome Statute) untuk pertama kalinya pada tahun 1998.
Hari ini pula menandai besarnya komitmen global untuk memerangi impunitas sekaligus membawa keadilan bagi setiap korban kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida, melalui pendirian sebuah badan peradilan internasional bernama Mahkamah Pidana Internasional atau dikenal dengan International Criminal Court (ICC).
(Dom)