KedaiPena.Com – Kerajaan Arab Saudi mengeksekusi mati Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tuti Tursilawati (33). Eksekusi dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia.
“Ini menunjukan kelemahan posisi Indonesia memberikan perlindungan kepada TKI yang bekerja di luar negeri terutama di negara-negara yang hukum perlindungan kepada tenaga kerjanya (lokal maupun migran) lemah,” ujar Ketua DPP Bidang Advokasi Perempuan Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, dalam keterangan kepada redaksi, Sabtu, (3/11/2018).
Politisi yang akrab dipanggil Sara juga menilai kegagalan mengetahui jadwal eksekusi mati menunjukan lalainya pengawasan TKI yang bermasalah di luar negeri. Pasalnya, Tuti sudah mengalami persoalan hukum di Arab Saudi bertahun-tahun.
Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri pada pertemuan dengan Tim Pengawas TKI di Gedung DPR, 21 maret lalu menyatakan ada 20 TKI di Arab Saudi terancam hukuman mati sepanjang 2011 hingga 2018 dimana 15 orang karena kasus pembunuhan dan lima karena kasus sihir.
“Data ini sudah ada di pemerintah, tinggal melakukan monitoring perkembangan kasus detik demi detik. Ini persoalan lemahnya lobi pemerintah,” tegas anggota Komisi VIII DPR RI ini.
Sara menilai tingginya pengiriman tenaga kerja informal tanpa dibekali pengetahuan hukum dan kondisi sosial negara penerima, menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus TKI bermasalah.
Para pekerja menjadi rentan dieksploitasi ditempat mereka bekerja. Sara mendesak pemerintah mengevaluasi dan memastikan kembali negara tujuan TKI yang dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pekerja.
“Solusi lain, di tengah derasnya tenaga kerja asing di negeri sendiri, kita juga sangat perlu mengembangkan lapangan pekerjaan untuk warga kita sehingga tidak perlu mencari pekerjaan ke negara lain,” ujarnya.
Seperti diketahui, Tuti Tursilawati dieksekusi mati 29 Oktober 2018 di Arab Saudi, tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia.
Wanita asal Majalengka, Jawa Barat itu dihukum atas tuduhan pembunuhan terhadap ayah majikannya WN Saudi, atas nama Suud Mulhaq AI-Utaibi, 11 Mei 2010.
Laporan: Muhammad Hafidh