Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, analis ekonomi Universitas (UBK).
Setelah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan April 2021 sempat naik ke 101,5, ternyata di bulan Mei 2021 IKK turun kembali ke level di bawah 100, yaitu di 98,5.
Nilai IKK 98,5 ini di atas besaran IKK rata-rata selama pandemi yang sebesar 86,2. Tapi masih jauh di bawah IKK rata-rata 2013-2019 yang sebesar 120,3.
IKK adalah salah satu indikator utama dalam menilai tingkat konsumsi masyarakat, diterbitkan Bank Indonesia.
Yang perlu diperhatikan, nilai IKK di atas 100 mengindikasikan konsumen optimis
terhadap ekspektasi ekonomi. Sebaliknya, IKK di bawah 100 mengindikasikan konsumen masih
pesimis.
Dengan IKK bulan Mei 2021 turun ke 98,5, terlihat konsumen kembali pesimis terhadap perekonomian setelah di bulan sebelumnya sempat optimis.
Pada bulan April 2021 Memang ada peningkatan daya beli konsumen. Kenaikan konsumsi terjadi dibantu terutama oleh Lebaran dan Ramadan.
Masyarakat menjadi lebih meningkatkan konsumsi terutama ke makanan dan pakaian.
Bank Indonesia mencatat pada saat Lebaran tahun 2021 terjadi penarikan dana cash (uang kartal) dari perbankan sebesar Rp 154,5 triliun.
Meningkat drastis dari Lebaran tahun 2020 yang terjadi penarikan cash Rp 109,2 triliun.
Meskipun masih belum mencapai
tingkat penarikan dana cash pada Lebaran tahun 2019 yang sebesar Rp 217 triliun.
Dampak Lebaran 2021 tidak sesignifikan Lebaran sebelum pandemi, juga disebabkan karena sebagian masyarakat terkunci di Ibukota tidak dapat pulang kampung.
Yang berhasil lolos, menerobos hadangan aparat untuk mudik, hanya sebagian kecil masyarakat.
Dan sialnya yang tertahan di Ibukota, adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Akibatnya dana tidak banyak
berputar di kampung.
Kebijakan penghapusan pajak pembelian mobil baru (PPnBM berakhir Mei 2021) memang berhasil meningkatkan konsumsi sebagian kalangan menengah atas.
Tapi ini hanya “blip”, atau kenaikan sementara. Setelah itu appetite masyarakat terhadap kendaraan baru akan kembali turun dan flat.
Pada Maret 2021 penjualan mobil sempat naik ke 84 ribu unit. Tapi kemudian turun ke 78 ribu unit
di bulan April 2021. Memang masih di atas rata-rata penjualan mobil Januari-Februari 2021 sebanyak 73 ribu unit.
Tapi setelah kebijakan penghapusan PPnBM ini selesai di bulan Mei 2021,
pembelian masyarakat akan berkurang kembali.
Perekonomian juga akan sedikit tertolong peningkatan ekspor, karena beberapa negara importir (seperti China) sudah memulih perekonomiannya.
Meskipun perlu digarisbawahi, peningkatan ekspor ini terjadi bukan karena peningkatan volum (volume effect), melainkan karena kenaikan
harga komoditi ekspor (price effect).
Seperti contohnya ekspor migas yang nilainya naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya, karena memang harga minyak mentah naik signifikan setahun ini dari menyentuh minus (-) US$ 37 pada April dan US$ 1,17 pada Mei tahun 2020, menjadi di atas US$ 70 saat ini.
Tapi perlu dingat bahwa kenaikan ekspor ini juga dibarengi dengan peningkatan impor yang juga signifikan, terutama impor barang konsumsi yang jumlah dan pertumbuhannya melewati
impor barang modal.
Sehingga daya dorong eskpor-impor terhadap pertumbuhan ekonomi tidak
cukup kuat.
Peningkatan Purchasing Manufacture Index (PMI), menjadi 55,3 pada Mei 2021 dilihat banyak kalangan termasuk pemerintah sebagai pertanda optimis ke depan.
Ada yang bilang ini record, meskipun sebenarnya besaran PMI Indonesia ini masih di bawah PMI Dunia yang berada di level 56,0.
Namun menurut kami PMI tidak bisa dijadikan sebagai basis proyeksi ekonomi, karena hanya persepsi yang dikuantifikasi. Bukan benar-benar mencerminkan data ekonomi manufaktur yang sebenarnya.
Apalagi menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit di bulan April masih terkontraksi minus (-) 2,28 persen.
Dapat dikatakan bahwa perbankan masih sulit menyalurkan kredit karena ekonomi belum benar-benar bergerak, karena daya beli masyarakat masih tertekan.
Jadi, intinya, berlandaskan semua hal di atas, kami perkirakan perekonomian pada kuartal ke-II 2021 memang akan meningkat masuk ke zona positif.
Tapi nilainya tidak sebesar yang diproyeksikan pemerintah (7%), dan inipun akan kembali turun di kuartal-kuartal selanjutnya.
Penurunan ekonomi setelah kuartal II-2021 ini akan terjadi karena:
1. Perekonomian AS mengalami inflasi yang cukup tinggi, sebesar 4,2% saat ini. Sehingga bank sentral AS, The FED, dipastikan akan segera menaikkan suku bunga acuannya.
Akibatnya sebagian dana di pasar modal dan pasar uang Indonesia akan memilih pulang ke
AS.
2. Penanganan pandemi Covid -19 di Indonesia masih jauh dari berhasil karena kurva kasus harian masih tetap tinggi (5000-6000 kasus perhari).
Di berbagai daerah muncul sentra-sentra pandemi baru. Sementara laju vaksinasi juga tidak secepat yang diharapkan.
3. Rencana pemerintah untuk menaikkan pajak penghasilan pada saat resesi masih terjadi rasanya kurang tepat.
Kebijakan ini akan menghambat pemulihan ekonomi karena akanm mendorongmasyarakat berpendapatan tinggi untuk memindahkan uangnya ke luar negeri, seperti ke Singapura. Akan terjadi capital flight.
Berbeda dari pengenaan pajak untuk objek yang belum terpajaki seperti pajak warisan dan capital gain tax di pasar saham, ini tak akan mendorong terjadinya capital flight.
4. Bila tarif pajak penghasilan terlalu tinggi, akan mendorong banyak orang untuk bernegosiasi dengan petugas pajak. Para petugas pajak akan pesta pora, sementara tujuan meningkatkan pendapatan negara dari pajak tidak tercapai.
Sebenarnya masalah sistem perpajakan kita bukanlah pada tax rate. Tetapi lebih kepada tax enforcement. Bila tax collection dapat dienforce lebih baik, niscaya penerimaan pajak pun akan
meningkat.
Dan tax enforcement sangat bergantung kepada wibawa pemimpin, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan sebagai bos dari Dirjen Pajak.
Tapi bagaimana Menteri Keuangan kita dapat dikatakan berwibawa? Orang yang menerbitkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) sampai dua kali dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun.
Namun, bila berani berpikir lebih “out of the box”, sebenarnya masalah pokoknya adalah beban pembayaran bunga utang yang tinggi. Tahun 2021 beban bunga utang mencapai Rp 373 triliun.
Bukan tidak mungkin akan menembus Rp 400 triliun tahun depan. Seharusnya yang dipikirkan
adalah memecahkan masalah pokok ini. Bagaimana kita dapat mengurangi beban bunga utang
secara “out of the box”?
Jawabannya adalah dengan metode “debt to nature swapt” dan “debt swapt”. Kedua kebijakan ini
pernah diterapkan oleh tim ekonomi pemerintahan Gus Dur, dan berhasil dilakukan. Utang kita
berkurang milyaran USD dengan pengurangan utang ditukar pelestarian hutan (debt to nature
swapt), serta utang bunga tinggi ditukar utang bunga rendah dan tenor panjang (debt swapt).
Pemerintahan Gus Dur menjadi yang pertama kali dalam sejarah berhasil melakukan “debt to nature swapt” dan “debt swapt”.
Tapi saya sangat ragu Menteri Keuangan kita dapat berpikir out of the box. Menurut seorang ekonom senior, yang puluhan tahun malang melintang menjadi praktisi industri dan juga pengajar Institut Bisnis, kata dia Menteri Keuangan kita sekatang ini “kelasnya cuma kelas kasir”.
[***]