Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonomi UPN Veteran Jakarta.
Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar yaitu sekitar mencapai Rp386 triliun berdasarkan hitungan Kemenko Perekonomian RI. Pergerakan likuiditas yang besar tersebut ditopang dengan tambahan persediaan uang kartal (M0) sebesar Rp150-170 triliun oleh Bank Indonesia seperti dikutip Humas BI pada 15 April 2024 kemarin.
BI mencatat realisasi Penukaran Uang Lebaran 2024 mengalami peningkatan yaitu mencapai Rp123,7 triliun, dan Uang Tunai Lebaran 2024 diproyeksi naik 4,65 persen menjadi Rp197,6 triliun, artinya setiap pemudik menghabiskan minimal Rp1,3 juta uang tunai di kampung halaman belum termasuk uang elektronik.
Bila tunai dan elektronik digabung, rerata dari total 193 juta pemudik telah menghabiskan Rp2,3 juta per orang dewasa mudik.
Umumnya, saat lebaran terjadi inflasi sekitar 0,33-0,95 persen (mtm) dibandingkan bulan sebelumnya, namun tahun ini inflasi pada lebaran 2024 diprediksi lebih tinggi 1,25 persen (mtm) daripada 2023 (0,33 persen mtm) dan 2022 (0,95 persen mtm).
Inflasi Maret 2024 sudah mencapai 0,52 persen (mtm) atau 3,05 persen (yoy) sehingga sepanjang Januari-April 2024 diprediksi inflasi 2024 mencapai 4,2 persen (yoy). Ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi meningkat sebanyak 0,14-0,25 persen dari aktivitas mudik 2024 kemarin.
Begitu pentingnya kontribusi perekonomian dari Mudik 2024 tersebut ternyata tidak diimbangi dengan layanan kebijakan publik yang baik oleh Pemerintah.
Pemerintah terlalu asyik pada aktivitas tol darat dengan melakukan aktivitas rekayasa counterflow sementara kemacetan parah yang terjadi di jalur penyeberangan pelabuhan Merak tidak diantisipasi dengan baik.
Ketimpangan perhatian terhadap aktivitas pemudik yang menggunakan jasa penyeberangan feri khususnya pemudik yang menuju Pulau Sumatera dan Kawasan Timur begitu terasa. Kelancaran pemudik hanya terlihat bagi pemudik yang menuju Jawa Bagian Timur, sementara pemudik diluar itu tidak merasakan kenyamanan yang sama.
Ketimpangan kebijakan tersebut ternyata terlihat juga dari pemberian Bansos 2024 yang lebih banyak diarahkan kepada Jawa Bagian Tengah dan Timur. Bahkan Presiden Jokowi memindahkan kantornya selama Februari 2024 tersebut di wilayah tengah dan timur Jawa.
Padahal, penambahan rute kapal untuk lintas Merak-Lampung sangat diperlukan, partisipasi kapal perusahaan swasta juga perlu lebih banyak karena penumpukan kendaraan di pelabuhan terasa begitu parah. Pada Lebaran 2024, jumlah rute kapal gratis yang disediakan sebanyak 20 rute padahal sebenarnya diperlukan minimal 50 rute melihat volume pemudik tahun ini.
Pemerintah juga tidak memberikan informasi yang memadai dan masif terhadap kebijakan Counterflow di sepanjang Tol Jakarta-Surabaya, dampak dari kebijakan serampangan tersebut terdapat 2 kecelakaan maut yang fatal yaitu KM 58 dan KM 370.
Kecelakaan maut terjadi di Tol Jakarta-Cikampek KM 58 melibatkan tiga kendaraan sekaligus yakni Bus Primajasa, Daihatsu Gran Max, dan Daihatsu Terios. Naas dalam kecelakaan tersebut 12 orang pemudik tewas. Tak lama berselang insiden Tol Jakarta-Cikampek KM 58, kecelakaan maut terjadi di Tol Batang-Semarang KM 370 yang melibatkan kendaraan Bus Rosalia Indah. Dalam insiden naas itu, tercatat setidaknya 8 orang pemudik yang menumpangi Bus Rosalia Indah dinyatakan meninggal dunia.
Meski pihak polisi telah bekerja keras mengatur lalu lintas, namun kebijakan Mudik seharusnya bukan hanya domain Kepolisian lalu lintas, melainkan kebijakan lintas sektoral KL yang melibatkan Kementerian koordinator PMK, Koordinator Perekonomian, Kominfo, Kemendagri, Kemenkes, dan Kemensos. Sayangnya, koordinasi mudik 2024 tidak terlihat kompak dan terkoordinasi dengan baik.
Terdapat 429 Orang Meninggal Selama Arus Mudik dan Balik Lebaran 2024, jumlah ini menurun dibandingkan tahun lalu, jangan dianggap sebagai prestasi. Dua kecelakaan maut yang disebabkan rekayasa counterflow kebijakan mudik harus dimintai pertanggungjawabannya. Bukan hanya sang supir yang kelelahan namun juga kebijakan counterflow tersebut yang minim sosialisasi yang menyebabkan terjadi kecelakaan maut tersebut.
Kebijakan yang kurang disosialisasikan dengan baik dapat menyebabkan kebingungan dan kesalahan dalam berlalu lintas, yang pada akhirnya dapat berakibat fatal seperti kecelakaan maut tersebut. Oleh karena itu, pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan counterflow harus dimintai pertanggungjawaban.
Evaluasi mendalam harus dilakukan untuk memahami kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan ini dan mencari solusi untuk memperbaikinya. Selain itu, sosialisasi yang lebih intensif dan efektif harus dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat memahami dan dapat mengikuti kebijakan lalu lintas dengan benar dan aman.
Untuk itu, Polisi tidak dapat bekerja sendirian; diperlukan koordinasi lintas lembaga untuk mewujudkannya.
Akhirnya, Mudik 2024 harus dapat dijadikan pelajaran dalam layanan kebijakan publik. Mulai dari terlalu fokus pada aktivitas tol darat sampai abai terhadap aktivitas penyeberangan pelabuhan, terlalu minim sosialisasi counterflow tol Jakarta-Surabaya sehingga menyebabkan 2 kecelakaan maut. Pihak penyelenggara Mudik 2024 tidak boleh dianggap berprestasi bila masih ada kecelakaan yang disebabkan kebijakan rekayasa Mudik.
Pemerintah harus adil; melihat begitu signifikannya nilai keekonomian dari Mudik 2024 ini, seharusnya masyarakat diberikan kenyamanan yang setara dan adil dalam bermudik. Kedepan, Pemerintah tidak hanya sibuk mengurus pembangunan TOL, namun juga harus memberikan perhatian terhadap sosialisasi kebijakan menjelang mudik. Tidak hanya fokus mengurus kebijakan Counterflow Tol yang berbayar, namun juga menyelenggarakan mudik bagi rakyat agar tidak mahal dan mudik dapat dinikmati dengan nyaman, aman, tanpa jatuh korban jiwa.
[***]