PARA pemimpin Budi Utomo menyebut ekonomi liberal sebagai ‘’tanaman dari negeri asing’’, een plant van vreemden bodem, yang tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Pemimpin Syarekat Islam Cokroaminoto mencapnya sebagai ’’het zondig’’, faham murtad ! Husni Thamrin menyebutnya faham penjahat dan perusak penghidupan rakyat.
Bung Hatta pada Februari 1980 dalam pidato terakhirnya sebelum wafat mengatakan praktek liberalisme sangat menindas.
‘’Perbuatan faham itu yang terasa ialah pemerasan terhadap kaum buruh, perampasan tanah rakyat, penindasan kemerdekaan, dan perkosaan terhadap dasar-dasar perikemanusiaan’’.
Sukarno sendiri di dalam Wedjangan Revolusi mengatakan, liberalisme merupakan ibu semua bencana… ‘’Tak dapat kita mengambil manfaat seratus persen daripada kekayaan bumi dan air kita sendiri kalau imperialisme ekonomi masih bercokol di bumi kita, laksana lintah yang menghisap darah, laksana kemladen yang membinasakan pohon. Liberalisme telah membawa banyak bencana…’’
Hatta mencontohkan, pergerakan Islam dari berbagai aliran rata-rata menentang liberalisme sebagai suatu sistem ekonomi yang menyalahi kebenaran dan keadilan Ilahi. Demokrasi tidak akan lengkap apabila tidak berlaku kedua-dua seginya, yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Bagaimana kabinet hari ini? Isu reshuffle seharusnya jadi wacana pertarungan ideologis. Tri Sakti, Nawa Cita, Revolusi Mental, yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan oleh Jokowi sebenarnya sangat ideologis dan sesuai keinginan para pendiri bangsa, tetapi jadi mandeg, lantaran perekonomian nasional saat ini nyatanya dikendalikan oleh orang-orang yang selama ini dikenal sebagai anasir ekonomi beraliran neoliberal yang menghamba kepada IMF & World Bank, yakni Sri Mulyani (Menkeu) dan Darmin (Menko Ekonomi).
Seperti telah disinggung di atas faham ekonomi liberal/neoliberal merupakan faham yang sangat ditentang dan dilawan oleh para pendiri bangsa karena merupakan pintu masuk bagi kolonialisme & imperialisme.
Sri yang ambisius yang menjelang Pilpres beberapa tahun yang lalu menyiapkan kendaraan politik berupa Partai Sri disebut-sebut punya agenda lain yakni sangat ingin jadi presiden. Dengan memanfaatkan isu gender antara lain Sri rajin membangun pencitraan di media massa dalam dan luar negeri.
Belum lama ini misalnya Sri meluncurkan program yang mengidentikkan dirinya dengan Raden Kartini. Seorang tokoh perempuan yang secara pemikiran politik dan idealisme sesungguhnya sangat bertolak belakang dengannya.
Ditempatkannya Sri di kabinet disebut-sebut merupakan campur tangan IMF + World Bank + Amerika yang ‘’menekan’’ Presiden Jokowi supaya tidak terlalu condong ke China. Media-media mainstream yang umumnya pragmatis-keterlaluan dan telah ikut jadi ‘’pemain utama’’ dalam lapangan politik umumnya tidak menganggap crucial topik atau isu-isu seperti ini, tugas sosial dan misi kebangsaan pers sudah berganti dengan misi dagang semata-mata.
Cita-cita para pendiri bangsa untuk membangun masyarakat yang berkeadilan di bidang ekonomi, hukum, politik, dan sektor lain dalam kehidupan bernegara masih dapat diwujudkan apabila Presiden Jokowi segera banting stir, melalui reshuffle kabinet dalam waktu dekat untuk mengubah paradigma ekonomi neoliberal dengan mencopot menteri-menteri yang selama ini merupakan kaki-tangan neolib, jangan dibiarkan berlarut-larut mereka melakukan penggembosan terhadap presidennya sendiri.
Oleh Arief Gunawan, Jurnalis Senior