Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, Akademisi Universitas Bung Karno (UBK).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan di bulan Maret 2021
masih mengalami kontraksi sebesar minus 4,13 persen.
Ini adalah bulan ketiga di tahun 2021
dengan pertumbuhan kredit perbankan mengalami kontraksi, setelah di Januari dan Februari 2021 berturut-turut minus 2,1 persen dan minus 2,15 persen.
Sebelumnya, sepanjang tahun 2020, tren pertumbuhan kredit perbankan selalu diikuti oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat.
Sepanjang tahun 2020, penyaluran kredit perbankan yang mengalami kontraksi diikuti dengan konsumsi masyarakat yang juga mengalami kontraksi.
Memang kaitan keduanya sangat kuat.
Rasionalitasnya: bila daya beli masyarakat sedang lemah, permintaan untuk kredit pun melemah.
Karena melihat daya beli masyarakat sedang lemah, perbankan pun memilih untuk menahan pemberian kredit.
Artinya meihat tren pertumbuhan kredit perbankan yang minus sepanjang kuartal pertama 2021, pertumbuhan konsumsi masyarakat masih akan tetap minus.
Daya beli masyarakat sepanjang
kuartal pertama 2021 kemungkinan masih akan tertekan di zona negatif, masih kontraksi.
Porsi dari konsumsi masyarakat masih yang terbesar di dalam Produk Domestik Bruto/PDB (berbasis pengeluaran), yaitu sebesar 57,6 persen (2020).
Yang terbesar kedua adalah pembentukan modal tetap bruto, sebesar 31,7 persen. Ekspor barang dan jasa 17,1 persen dan dikurangi impor barang dan jasa sebesar 16,2 persen. Sementara konsumsi pemerintah hanya 9,29 persen porsinya di PDB.
Kabar membaiknya neraca perdagangan selama kuartal pertama di 2021 juga tidak akan terlalu signifikan bagi PDB.
Karena dapat kita lihat bahwa ekspor sepanjang kuartal pertama (dengan kurs
Rp 14.500/US$) adalah sebesar Rp 605,5 triliun dan impor sebesar Rp 567,9 triliun.
Surplus perdagangan hanya sebesar Rp 37,6 triliun. Kalaupun mendongkrak PDB, mungkin hanya 0,5 persen saja.
Saking berpengaruhnya konsumsi masyarakat terhadap PDB, besaran laju pertumbuhan konsumsi masyarakat selalu dekat dengan laju pertumbuhan PDB.
Jadi, bila tadi diperkirakan konsumsi masyarakat masih berkontraksi, maka pertumbuhan PDB (ekonomi) dapat diperkirakan juga masih akan berada di zona negatif.
Ekonomi kuartal I 2021 masih akan mengalami kontraksi. Hanya saja, besarannya kontraksinya mungkin tidak akan sedalam seperti periode yang sebelumnya.
Karena bagaimanapun pemerintah
telah berusaha membangkitkan perekonomian dengan melakukan berbagai program ‘spending‘.
Seperti diberitakan, realisasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga 16 April 2021 mencapai Rp 134 triliun, yang terbagi untuk anggaran kesehatan Rp 18,6 triliun, untuk perlindungan sosial Rp 47,9 triliun, untuk program padat karya Rp 14,9 triliun, dukungan untuk UMKM sebesar Rp 37,7 triliun, dan insentif usaha Rp 14,95 triliun.
Anggaran pemulihan ekonomi Rp 134 triliun tersebut memang akan mendorong konsumsi masyarakat di kuartal pertama 2021, meskipun yang efektif untuk mendongkrak daya beli mungkin hanya program perlindungan sosial dan UMKM-nya karena yang lain hanya insentif.
Tapi karena nilainya kurang besar, sepertinya tidak akan mampu untuk mengembalikan daya beli masyarakat
dan juga ekonomi ke zona positif. Ekonomi mungkin hanya akan terdongkrak 1,2 persen saja.
Dengan tambahan dongkrak dari surplus neraca perdagangan dan dari PEN, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2021 mungkin akan masih berada di kisaran minus 1,5 persen sampai 0,5 persen.
Sepertinya hanya Lebaran di akhir April 2021 (karena lebih lamanya orang berada di kampung halaman akibat pembatasan di masa pandemi) yang dapat menyelamatkan ekonomi di kuartal kedua 2021 nanti masuk ke zona positif.
[***]