KedaiPena.Com – Indonesia dihantam persoalan ekonomi yang bertubi-tubi. Utang pemerintah pusat hingga Februari 2020 sebesar Rp 4.948,18 triliun.
Di era rezim pemerintahan Jokowi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencatat rekor terendah sejak 1998, yakni di angka Rp 16.000.
Sementara kalangan menilai kinerja tim ekonomi Jokowi jilid 2 jauh panggang dari api. Mereka kerap menjadikan kondisi eksternal, seperti perang dagang AS-Cina sebagai bemper. Tapi tidak pernah berinovasi
Jika dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur yang hanya sebentar, jelas kondisi ini sangat berbeda.
Meskipun zaman Gus Dur situasi krisis, tetapi mampu bertahan dan bahkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5%, dari yang sebelumnya -3% menjadi 4,5%.
Gus Dur yang komandan ekonominya Rizal Ramli, juga dapat menurunkan angka kemiskinan tertinggi yaitu 5,5%.
Sementara Jokowi, yang ketika dilantik keadaan ekonomi relatif stabil, pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan tidak tercapai. Ekonomi hanya tumbuh 5% dan hanya mampu menurunkan 1,1% angka kemiskinan.
Selain itu, waktu era Gus Dur, semua utang pemerintah dibarter. Utang ke pemerintah Jerman dibarter dengan ratusan ribu hektar lahan untuk konservasi di Kalimantan. Juga utang ke Kuwait dipotong bunga mahal dengan bunga murah.
Utang Indonesia waktu itu menurun 4,5 miliar dolar. Harusnya logikanya ekonomi naik, utang menjadi naik. Ini tidak, ekonomi naik utang justru turun.
Jelas hal ini membuat berang orang-orang dekat Gus Dur. Sebut saja, Yono, salah satu Gusdurian yang kecewa dengan kondisi saat ini. Pria yang berprofesi sebagai dokter kemudian meminta Jokowi legowo dan dapat mengganti seluruh tim ekonominya.
Ia pun meminta Jokowi mengangkat komandan ekonomi Gus Dur, Rizal Ramli masuk kabinet. Sebab, Rizal terbukti membawa ekonomi Indonesia bangkit di awal reformasi.
“Sangat-sangat pas Pak RR (Rizal Ramli) dan kawan-kawan grup ekonom kerakyatan. Kita memang kita perlu (mereka) saat ini, bukan ekonom liberal,” kata sahabat dekat Presiden RI ke 4 ini kepada KedaiPena.Com, Kamis, (19/3/2020).
Dia menambahkan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan makro ekonomi itu sebenarnya bisa dengan cara yang simpel dan logis.
“Neraca pembayaran, indeks inflasi, pertumbuhan makro, cadangan devisa, ratio impor ekspor, pertumbuhan mikro, income per capita, daya beli dan gini ratio. Tidak usah dibikin ruwet,” tegas Yono ini.
Dia bahkan berkelakar bahwa ia mampu menyelesaikan persoalan ekonomi tersebut. Namun hal tersebut berbeda jika sudah dikaitkan dengan politik.
“Lha wong kalau saya yang ditugaskan pasti beres. Tapi kalau sudah campur dengan politik ya jadi ruwet,” tandasnya.
Tim ekonomi Gus Dur sendiri memiliki pencapaian istimewa. Di penghujung era pemerintahan Gus Dur, koefisien gini ratio tercatat paling rendah di Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir, yakni 0,31. Terdekat dengan pencapaian ini hanya era Soeharto pada 1993 dengan gini ratio 0,32.
Bedanya, Soeharto perlu 25 tahun untuk menurunkan gini ratio hingga ke angka ke 0,32 (1993). Sedangkan Gus Dur hanya perlu kurang dari dua tahun untuk menurunkan koefisien gini ratio dari 0,37 (1999) ke 0,31 (2001).
Laporan: Muhammad Hafidh