KedaiPena.com – Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO), Prof Didin S Damanhuri memuji langkah Presiden Prabowo Subianto yang melakukan paradigma shift (pergeseran paradigma) menuju pembangunan ekonomi kerakyatan (people center development)
“Tapi memang masalah yang Indonesia hadapi saat ini memang sangat berat. Butuh waktu lebih panjang, untuk melakukan pembenahan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen itu, yang harus dilakukan bukan hanya menggerakkan sektor ekonomi saja tapi secara keseluruhan. Yaitu, pembenahan tata kelola negara,” kata Prof Didin, Sabtu (19/1/2025).
Ia menyatakan pembenahan ini bisa dimulai dengan membenahi regulasi dan penegakkan hukum, sebagai upaya untuk menekan kebocoran anggaran negara. Lalu, pemerintah juga perlu melakukan penghematan nasional dan melakukan evaluasi pada profit sharing dari sektor pengelolaan sumber daya alam.
“Kondisi di lapangan pelaku usaha yang mengembangkan sumber daya Indonesia, sebut misal perkebunan sawit, nikel, batu bara, migas, atau sumber daya alam lainnya, itu kan pemerintah mendapatkannya kecil. Harusnya bisa didorong untuk 50-50. Saat ini, setelah dikurangi dengan biaya-biaya, pembagiannya 30-70, dengan 30-nya untuk pemerintah. Prabowo harus berani untuk me-revisinya,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, Hashim Djojohadikusmo, yang merupakan adik dari Presiden Prabowo Subianto, pernah mengungkapkan ada dana senilai Rp300 triliun dari sawit yang tidak masuk ke negara, belum termasuk dari sektor sawit yang ilegal. Yang dimaksud itu adalah, pengusaha sawit memperluas lahannya tanpa bisa dicegah. Sementara yang terkena pajak hanyalah yang tercatat HGU. Perluasan lahan-nya sama sekali tidak memberikan benefit pada pemerintah.
“Selama ini, alih-alih membenahi industri besar ini, pemerintah dalam upaya untuk menaikkan pemasukan dari sektor pajak, malah mencoba untuk membebankannya pada masyarakat, yang nota bene usahanya adalah usaha menengah ke bawah. Industri besar ini, persentasenya tidak menyentuh 1 persen. Sementara yang 99 persennya itu adalah industri menengah ke bawah, yang mayoritasnya adalah UMKM,” ujarnya lagi.
Tak hanya itu, Prof Didin juga mendorong agar pemerintah mampu melakukan efisiensi anggaran, mendorong pengembangan dan pelibatan sektor UMKM, serta mendorong pelaku industri swasta untuk efisien.
“Saya berharap, pemerintah bisa menurunkan pajak, sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat, UMKM juga bisa bertumbuh. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga harus meminta industri besar untuk melakukan efisiensi dan inovasi. Jangan industri besar itu hanya mengambil sumber daya alam tapi pemasukannya sedikit untuk negara ini. Jangan sampai potensi pemasukan negara itu hilang,” ungkapnya.
Ia menegaskan berdasarkan penghitungan yang ia lakukan, pemasukan negara dari sektor pengelolaan sumber daya ini, ada sekitar Rp1.000 triliun yang bisa didapatkan pemerintah. Seperti dari sawit bisa Rp300 triliun, dari batu bara Rp600 triliun.
“Jika ini dibenahi, tata kelolanya, maka tidak perlu lagi Indonesia untuk hutang-hutang lagi. Cukup untuk membiayai program ekonomi rakyat yang dicanangkan oleh Prabowo. Para industri besar itu, kalau dikumpulkan, total asetnya melebihi GDP Indonesia. Harusnya mereka jadi pelaku usaha yang efisien, jangan jadi pemburu rente. Kalau memang mereka efisien, berikan insentif,” ungkap Ekonom Senior Indef ini.
Selain itu, ia juga mendorong Presiden Prabowo untuk melakukan pembenahan di sektor politik nasional. Agar partai politik tidak bergantung pada pelaku usaha kelas kakap lagi. Karena, ketergantungan ini akan menimbulkan skema ‘balas budi’, yang menjadikan arah kebijakan pemerintah tidak lagi berorientasi pada kesejahteraan masyarakat tapi lebih kepada kebijakan menguntungkan pemodal.
“Jangan ada lagi PSN-PSN, konsesi-konsesi, yang dijadikan proyek balas budi. Tata kelola ini kalau dibenahi, di mana pelaku industri menjadi pelaku yang champion, yang efisien, berinovasi, tak perlu menjadi investor politik, maka negara ini akan menjadi luar biasa. Itu kalau memang Indonesia mau jadi negara maju. Kalau memang tidak mau jadi negara maju, ya biarkan saja tetap seperti itu,” kata Prof Didin lebih lanjut.
Ia menegaskan perbaikan tata kelola negara ini merupakan suatu kewajiban, untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Pembenahan tata kelola menjadi kunci untuk melepaskan diri dari middle-income trap. Sebagai perbandingan pertumbuhan, Prof Didin menyebutkan GDP Indonesia bertahan di 5.000 Dollar Amerika selama 23 tahun. Sementara Malaysia sudah mencapai 12.000 Dollar Amerika, Turki sudah 17.000 Dollar Amerika, dan Korea Selatan sudah 30.000 Dollar Amerika.
“Padahal kita start-nya sama. We are going nowhere. Kita terjebak di middle-income trap. Karena apa, tata kelola kita itu. Harusnya, kita bisa menjadi clean governance untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, peningkatan GDP,” ujarnya.
Termasuk juga, lanjutnya, Presiden Prabowo harus bisa menempatkan menteri yang kompeten untuk mendukung rencana pertumbuhan ekonomi 8 persen. Ia menegaskan platform yang diusung Presiden Prabowo sudah sangat luar biasa. Tapi tanpa aspek pendukung yang kompeten, platform itu hanya menjadi mimpi belaka.
“Saat ini, seperti kita lihat, memang ada menteri-menteri yang kompeten tapi ada juga yang menteri-menteri yang orientasi platform-nya belum sejalan dengan yang dicanangkan oleh Prabowo. Ditambah juga, regulasi yang ada saat ini, ada yang tidak compatible. Saya katakan ini sulit,” ujarnya lagi.
Ia menegaskan PR dari Presiden Prabowo Subianto ini sangat berat, karena harus melakukan perubahan paradigma. Karena itu, ia berpesan pada Presiden Prabowo untuk terus konsisten dan transformasional dalam melakukan pembenahan tata kelola dan orientasi negara.
“Risikonya besar, itu pasti. Karena yang dilawan, kelompok yang tidak ingin adanya perubahan paradigma ini, sangat besar dan sudah merasuk kemana-mana. Tapi ingat, presiden ini adalah penerima mandat rakyat. Reformasi ini harus dilakukan, untuk memastikan kebijakan presiden yang baik, yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat bisa didukung,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa