KedaiPena.Com – Ekonom Senior Fadhil Hasan menilai, jika penggabungan Kemendikbud dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) akan dapat membahayakan masa depan riset dan pengembangan Indonesia.
Hal ini, kata dia, disebabkan lantaran Indonesia seolah tidak lagi peduli dan konsen terhadap riset dan pembangunan baik sisi kelembagaan maupun penganggaran.
“Penggabungan Kementerian Riset dan Teknologi tersebut tidak sejalan dengan program yang dicanangkan Presiden Jokowi sendiri yaitu pemerintah mendukung manusia Indonesia unggul yang adaptif dengan teknologi dalam upaya transformasi ekonomi menuju ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy),” kata dia dalam keterangan tertulis, Sabtu, (24/4/2021).
Ia juga memandang, penggabungan Kemenristek dengan Kemendikbud menunjukkan dukungan pemerintah terhadap riset dan penelitian akan ala kadarnya, alias tidak serius dan tidak fokus.
Ditambah lagi, lanjut dia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki ruang lingkup yang terlalu luas mulai dari pendidikan dasar, menengah pertama, menegah atas dan perguruan tinggi serta pendidikan non formal, vokasional dan kebudayaan.
“Sehingga tidak akan fokus mengembangkan riset dan teknologi nasional,” uar Fadhil Hasan saat zoominari Kebijakan Publik Narasi Institute.
Fadhil menegaskan bahwa ketiadaan kementerian riset akan mengurangi politik anggaran pemerintah soal riset dan teknologi.
”Anggaran riset dan teknologi yang saat ini sangat rendah akan semakin tertekan dengan hilangnya Kementerian Ristek, ini gawat kalau negara sebesar Indonesia harus mengalami kemunduran dibidang R&D karena berubahnya komitmen dan perhatian pemerintah,” tutur Fadhil Hasan.
Sementara itu, Achmad Nur Hidayat Pakar Kebijakan Publik juga mengingatkan, bahwa Pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang levelnya di bawah kementerian, pastinya membutuhkan waktu untuk learning curve kelembagaan
“BRIN diyakini tidak akan bekerja cepat dan optimal. BRIN akan disibukan dengan SOP dan pengaturan internal organisasi barunya sementara outcome riset dan penelitiannya tidak optimal,” tandas Direktur Eksekutif Narasi Institute.
Laporan: Sulistyawan