KedaiPena.Com- Terdapat tiga disrupsi besar yang sedang melanda dunia dan mengakibatkan terbelahnya kelompok kaya dan kelompok marginal. Hal itu disampaikan oleh Ekonom Senior, Fadhil Hasan.
Fadhil begitu ia disapa menyampaikan hal itu dalam Zoominari Kebijakan Publik yang berjudul Waspadai Ketimpangan Ekonomi Akibat Pandemi, Jumat, (3/9/2021).
“Terdapat tiga disrupsi yang sekarang sedang berlangsung yang akan mengubah struktur perekonomian nasional ke depan. Pertama, digitalisasi ekonomi didorong oleh perkembangan teknologi informasi (IT), kecerdasan buatan (AI), robotic, automatisasi, dan internet of things. Kedua, perubahan iklim dan pemanasan global akibat dari ekspoitasi sumberdaya yang tidak bertanggung jawab dan berkelanjutan. Ketiga, pandemi Covid-19 yang merubah tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat ke depan. Cara kita bekerja, belajar, berinteraksi dan bersosialisasi akan mengalami normal baru yang berbeda dengan sebelumnya,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Sabtu, (4/9/2021).
Fadhil Hasan menilai, dampak dari 3 disrupsi yaitu digitalisasi, perubahan iklim dan pandemi COVID19 akan membuat negara di dunia menjadi dua kelompok besar. Yaitu, negara kuat lebih cepat pulih dan lemah yang lamban pulih.
“Semua negara kini sedang menata kembali perekonomiannya menghadapi tiga disrupsi besar dalam kehidupan manusia. Negara-negara yang selama ini telah memiliki basis perekonomian yang solid, kuat dan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi disertai sumber daya manusia yang berkualitas relatif lebih siap merespon disrupsi ini dan akan keluar dari krisis akibat pandemi ini dengan lebih cepat dan berkelanjutan,” papar dia.
Fadhil Hasan mengatakan negara yang kuat memiliki kemampuan beradaptasi dan perencanaan yang matang.
“Negara-negara ini mengambil langkah yang radikal, dan terencana dan besar. Beberapa diantaranya adalah pembangunan ekosistem dan infrastruktur IT dan melakukan investasi di bidang R&D dalam skala yang besar. Selain itu, pemerintah juga mendorong pelaksanaan paradigma berbasis ESG melalui Green New Deal, pembangunan zero/negative carbon, dan praktek-praktek berkelanjutan dalam setiap industri,” imbuh Fadhil Hasan.
Fadhil Hasan menjelaskan, bahwa negara yang mengandalkan pada perekonomian primitif sumber daya alam dan tertinggal dalam pengetahuan akan memiliki pertumbuhan yang jauh tertinggal. Menurutnya ketimpangan antar kedua negara tersebut akan sangat besar.
“Sementara negara-negara yang mengandalkan perekonomiannya pada eksploitasi sumber daya alam dan tidak berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi masih terus bergelut untuk menghadapi pandemi Covid 19 di satu sisi, dan relatif tidak memiliki kesiapan untuk bisa merespon dengan cepat tepat berbagai disrupsi bessar yang tengah berlangsung. Dengan demikian, dalam tataran global ketimpangan perekonomian selama ada akan semakin meningkat dan menguat. Gejala ini nampak saat ini dimana negara-negara maju sudah lebih cepat pulih perekonomiannya dibanding dengan negara-negara kelompok berpendapatan rendah dan menengah. Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju jauh lebih tinggi dibanding dengan negara-negara berkembang,” tegas Fadhil Hasan.
Fadhil Hasan mengatakan bahwa dalam konteks internal negara berkembang, isu ketimpangan ekonomi jauh lebih memprihatinkan lagi.
“Namun disisi lain, kesenjangan ekonomi yang semakin membesar juga terjadi di dalam perekonomian nasional di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sebagai akibat dari disrupsi tersebut. Ketimpangan ini berakar dari adanya struktur sosial ekonomi yang timpang yang terdapat di negara-negara tersebut yang terwujud dari adanya kesenjangan antar daerah, kota dan desa, antar sektor, antar kelompok pendapatan dan ketimpangan akses terhadap sumberdaya ekonomi dan teknologi. Jadi adanya disrupsi ini justru memperkuat dan memperlebar kesenjangan yang ada, dan bukan memperbaikinya,” papar Fadhil.
Fadhil memprediksi bahwa model pertumbuhan di tataran global maupun nasional akan berbentuk huruf K. Ada yang naik dan ada yang turun. Sayangnya yang turun di negara berkembang jauh lebih banyak.
“Dengan demikian, disrupsi yang terjadi dikhawatirkan akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi menyerupai huruf K baik dalam tataran global maupun nasional”, beber Fadhil Hasan
Fadhil menyarakan, untuk menghindari ketimpangan yang lebih besar, Indonesia perlu paradigma ekonomi baru diantaranya reformasi struktural ekonomi global dan nasional yang lebih melibatkan komunitas dan keadilan.
“Agar hal ini tidak terjadi dan untuk memastikan bahwa disrupsi ini membawa manfaat sosial ekonomi bagi semua maka diperlukan berbagai langkah dan reformasi struktural perekonomian global dan nasional. Namun reformasi struktural saja tidak cukup, apalagi jika hanya bertumpu pada paradigma pembangunan yang berbasis pada pertumbuhan konvensional. Reformasi struktural harus bertumpu pada upaya untuk menciptakan struktur perekonomian yang lebih adil dan berimbang serta berkelanjutan,” ungkap dia.
Ia menekankan, reformasi struktural berkeadilan dan berkelanjutan mensyaratkan pentingnya peranan negara dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi nya pada area yang memiliki prioritas tinggi dan berdampak besar bagi perekonomian.
Fadhil berharab, proses pemulihan ekonomi harus memiliki prinsip reformasi struktural berkeadilan sehingga program pemulihan komprehensif dan berkelanjutan.
“Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung harus inklusif dan memberi manfaat bagi semua serta berkelanjutan. Stimulus fiskal sebagai instrumen ekonomi penting yang dimiliki pemerintah harus didedikasikan pada area pembangunan infrastruktur dan ekosistem IT, R&D, perluasan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, dan layanan usaha kecil dan menengah,” tegas dia.
Jadi, kata dia, anggaran itu bukan dialokasikan kepada bidang-bidang yang justru menambah ketimpangan dan memiliki dampak bersifat jangka panjang.
“Intinya harus ada prioritas dalam alokasi anggaran negara. Kebijakan pembangunan juga harus ditujukan untuk memastikan bahwa pengelolaan industri dijalankan secara berkelanjutan menuju zero carbon. Instrumen fiskal kembali menjadi penting melalui skema insentif dan disinsentif fiskal,” tandas Fadhil Hasan.
Laporan: Sulistyawan