KedaiPena. Com – Anggota Komisi VII DPR RI, Ratna Juwita Sari menyampaikan, bahwa Fraksi PKB tetap mempertahankan sikap agar pasal 165 UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tidak direvisi.
Sikap resmi fraksi PKB, tutur Ratna, meminta penghapusan pasal 165 UU No. 4 tahun 2009 dibatalkan.
Menurutnya, pasal pemberian hukuman pidana kepada pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan IUP, IUPK, IUPR telah terbukti efektif mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Pasal ini jangan sampai dihapus. Berkat pasal ini, pelaku KKN sektor pertambangan dapat diganjar dengan hukuman setimpal,” jelas Ratna, Selasa, (12/5/2020).
Sikap kritis Ratna tersebut telah ia tunjukkan sejak pertama kali turut membahas RUU Minerba dalam FGD pada bulan Desember 2019 dan RDP di awal tahun 2020 sebelum adanya pandemi Covid-19.
Menurutnya, sikap politik yang ia ambil dalam membahas RUU Minerba tersebut sepenuhnya untuk mengejawantahkan arah perjuangan PKB sebagai green party.
Oleh karena itu, ia menilai revisi UU Minerba harus diorientasikan untuk meningkatkan kualitas perbaikan tata kelola pertambangan, bukan sebaliknya malah melemahkan.
“PKB itu mengusung misi sebagai green party. Kami sangat peduli dengan perbaikan tata Kelola lingkungan hidup. Ketika membahas RUU Minerba ini, kami niatkan untuk mendorong terciptanya good and sustainable mining governance. Tata kelola harus diperkuat. Itu sikap kami,” ujarnya menjelaskan.
Ia juga menilai dampak buruk yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan sangat mengerikan baik pada aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, dan bencana alam.
Oleh karena itu, Ratna terus mengupayakan, adanya klausul penegasan atas kewajiban reklamasi pasca tambang dan jaminan reklamasi, yang disertai dengan sanksi tegas.
“Reklamasi pasca tambang dan jaminan reklamasi ini harus diatur secara lebih tegas. Selama sepuluh tahun terakhir banyak pemegang izin yang tidak patuh, tapi tidak diberikan sanksi yang tegas. Kerusakan ekologi yang ditimbulkan parah sekali,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh