Artikel ini ditulis oleh: Steph Subanidja, Guru Besar Ilmu Manajemen, Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Perbanas
SIAP-siap, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% akan diberlakukan per 1 Januari 2025. Sejatinya PPN ini adalah amanat UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bahwa tarif PPN sebesar 11% mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Lantas apa dampak PPN 12% tersebut?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan instrumen penting dalam sistem perpajakan Indonesia, dikenakan pada sebagian besar barang dan jasa dengan tarif standar 12%.
Pajak ini memiliki dampak signifikan pada perekonomian, mulai dari konsumen akhir hingga pelaku usaha. PPN bekerja melalui mekanisme yang disebut efek domino, di mana pajak dikenakan pada setiap tahap transaksi, tetapi hanya konsumen akhir yang menanggung beban sepenuhnya.
Ketika suatu barang atau jasa berpindah tangan dari produsen ke distributor, lalu ke konsumen, PPN dikenakan pada nilai tambah di setiap tahap. Produsen mengenakan pajak kepada distributor, sementara distributor mengenakan pajak kepada konsumen. Namun, pihak-pihak dalam rantai distribusi dapat mengkreditkan pajak masukan mereka, sehingga hanya membayar selisihnya. Mekanisme ini memastikan bahwa pajak tidak menjadi beban berulang di setiap tahap transaksi.
Dampak PPN 12%
Dampak utama PPN 12% adalah peningkatan harga barang dan jasa yang langsung memengaruhi daya beli masyarakat. Bagi konsumen berpendapatan rendah, kenaikan harga ini bisa menjadi mimpi buruk.
Selain itu, pelaku usaha, khususnya usaha kecil, menghadapi beban administratif yang cukup berat, karena mereka harus mencatat setiap transaksi, menghitung, dan menyetorkan PPN yang dipungut.

Meski demikian, PPN juga memberikan sejumlah manfaat bagi negara. Dengan menjadi salah satu sumber utama penerimaan pajak, PPN berkontribusi besar pada pendanaan pembangunan, infrastruktur, dan layanan publik.
PPenerapan sistem pengkreditan pajak masukan juga mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pencatatan transaksi. Hal ini tidak hanya meningkatkan kepatuhan pajak tetapi juga memperkuat administrasi perpajakan.
Namun, tantangan utama dari kebijakan ini adalah risiko inflasi. Ketika tarif PPN naik, harga barang dan jasa juga meningkat. Produsen dan distributor cenderung membebankan kenaikan ini kepada konsumen, yang pada akhirnya memengaruhi daya beli masyarakat secara luas. Situasi ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan.
Selain itu, PPN juga mendorong transparansi dalam sistem perpajakan. Melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan (input tax credit), setiap pihak dalam rantai produksi atau distribusi diharuskan untuk melaporkan transaksi mereka secara rinci. Pihak yang membeli barang atau jasa dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar sebelumnya ketika menjual barang tersebut.
Hal ini mendorong pelaku usaha untuk menyimpan catatan transaksi yang akurat, yang berpotensi meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha. Dengan demikian, PPN dapat berfungsi sebagai alat untuk memperbaiki sistem administrasi pajak di Indonesia.
Lebih lanjut, PPN memiliki sifat netral bagi bisnis. Pihak-pihak dalam rantai pasokan tidak perlu menanggung beban pajak, karena mereka dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayarkan atas barang dan jasa yang dibeli.
Oleh karena itu, beban pajak hanya akan dikenakan pada konsumen akhir. Hal ini memungkinkan bisnis untuk beroperasi tanpa terhambat oleh pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi atau distribusi. Dengan begitu, sistem PPN dianggap lebih efisien dan tidak merugikan sektor usaha.
Meskipun PPN memberikan berbagai manfaat bagi negara dan sistem perpajakan, ada beberapa kerugian atau tantangan yang perlu diperhatikan.
PSalah satunya adalah beban pajak yang dikenakan pada konsumen akhir. PPN 12% langsung ditambahkan pada harga barang dan jasa yang dibeli konsumen, yang menyebabkan harga barang menjadi lebih mahal.
Hal ini dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berpendapatan rendah, karena proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi menjadi lebih besar.
Kenaikan tarif PPN ini juga dapat berkontribusi pada inflasi. Saat harga barang dan jasa meningkat akibat kenaikan PPN, produsen dan distributor akan cenderung menaikkan harga jual barang mereka untuk mengimbangi pajak yang dibayarkan.
Inflasi ini dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagai contoh, harga barang-barang kebutuhan pokok yang dikenakan PPN 12% akan lebih tinggi, yang dapat menekan daya beli masyarakat.
Selain itu, ada juga beban administrasi yang tinggi bagi pelaku usaha, khususnya bagi bisnis kecil. Bisnis harus mencatat setiap transaksi secara rinci, menghitung dan melaporkan PPN yang dipungut dan dibayar, serta menyetorkan PPN yang dipungut ke negara.
Proses ini bisa memakan waktu dan biaya, terutama bagi usaha kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya. Bagi mereka, proses administrasi pajak ini dapat menjadi beban tambahan yang menyulitkan.
Selain itu, penerapan PPN 12% juga berpotensi meningkatkan penghindaran pajak. Beberapa pelaku usaha mungkin mencari cara untuk menghindari kewajiban pajak dengan tidak menyetorkan PPN yang telah dipungut, atau bahkan dengan memanipulasi laporan transaksi. Hal ini bisa terjadi pada sektor-sektor yang kurang diawasi, yang akhirnya dapat mengurangi efektivitas sistem PPN dalam meningkatkan pendapatan negara.
Oleh karena itu, pengawasan yang ketat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap transaksi tercatat dengan benar dan pajak dipungut serta disetorkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Secara keseluruhan, PPN 12% memiliki berbagai keuntungan dan kerugian. Di satu sisi, PPN dapat memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara dan mendorong transparansi dalam sistem perpajakan.
Di sisi lain, PPN dapat meningkatkan harga barang dan jasa, yang berpotensi mengurangi daya beli masyarakat, serta menambah beban administrasi bagi pelaku usaha kecil. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk selalu memantau dampak penerapan PPN terhadap ekonomi masyarakat dan sektor usaha.
Selain itu, kebijakan pelengkap seperti pemberian subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau pengecualian barang-barang pokok dari PPN dapat membantu mengurangi dampak negatif dari pajak konsumsi ini.
(***)