Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, Akademisi Universitas Bung Karno (UBK).
Jangan berbangga dulu, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 sebesar 7,07 persen itu semu.
Apa yang terlihat sebagai lompatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia ternyata adalah akibat dari efek
basis atau ‘base effect’.
Efek basis adalah suatu distorsi yang terjadi pada rasio persentase antara dua titik poin dengan salah satu poinnya menjadi basis, akibat basis yang terlalu tinggi atau rendah.
Bila basisnya terlau rendah, maka disebut “low base effect”. Efek basis biasa terjadi pada perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Efek basis pada perhitungan pertumbuhan ekonomi ini belum lama terjadi di banyak Negara yang melakukan pelonggaran di tengah pandemi.
Sebut saja Cina, sebagai Negara yang lebih awal melonggarkan pergerakan masyarakatnya.
Pertumbuhan kuartal I-2021 Cina mengalami lompatan hingga 18,3 persen. Tapi setelah efek basis berakhir, di kuartal II-2021 pertumbuhan ekonomi Cina anjlok ke 7,9 persen.
Perlu diketahui rata-rata pertumbuhan ekonomi Cina sepanjang tahun 2000-2020 adalah 8,67 persen. Jadi setelah
melompat 9,7 persen di atas pertumbuhan rata-ratanya, pertumbuhan ekonomi Cina sekarang
sudah menjadi di bawah rata-ratanya.
Jepang lebih bombastis lagi. Akibat “efek basis”, pertumbuhan Jepang melompat sangat tinggi ke 22,9 persen di kuartal-III 2020 dan 11,7 persen di kuartal IV-2020.
Baru kemudian kembali ke zona
resesi minus 3,9 persen di kuartal- I 2021. Perlu diketahui rata-rata pertumbuhan Jepang selama
tahun 2001-2020 adalah 0,75 persen.
Jadi setelah melompat 22 persen dan 11 persen di atas pertumbuhan rata-ratanya, pertumbuhan ekonomi Jepang kembali di bawah rata-rata bahkan masuk ke zona resesi.
Amerika Serikat juga mengalami lompatan pertumbuhan ekonomi ke 12,2 persen di kuartal-II tahun 2021, dalam periode yang sama dengan Indonesia.
Perlu diketahui rata-rata pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sepanjang tahun 2000-2020 adalah 1,77 persen. Jadi pertumbuhan ekonomi Negeri
Paman Sam ini melompat 10,5 persen di atas rata-rata saat mengalami efek basis.
Singapura juga alami lompatan pertumbuhan ekonomi ke 14,3 persen pada kuartal II-2021 akibat efek basis yang sama.
Perlu diketahui rata-rata pertumbuhan ekonomi Singapura sepanjang tahun
2000-2020 adalah 4,3 persen.
Jadi pertumbuhan ekonomi Singapura melompat 10 persen di atas pertumbuhan rata-ratanya.
Sementara negara-negara Uni Eropa juga mengalami lompatan pertumbuhan ekonomi ke 13,2 persen di kuartal ke-II 2021.
Perlu diketahui rata-rata pertumbuhan ekonomi Uni Eropa tahun 2000-2020 adalah 1,34 persen.
Jadi lompatan pertumbuhan ekonomi Uni Eropa 11,9 persen di atas pertumbuhan rata-ratanya.
Kenapa diambil contoh Cina, Jepang, Amerika Serikat, Singapura, dan Uni Eropa? Karena mereka adalah mitra dagang utama Indonesia.
Sementara Indonesia sendiri rata-rata pertumbuhan ekonominya tahun 2001-2020 adalah 4,88 persen.
Lompatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kuartal II-2021 sebesar 7,07 persen kemarin itu hanya 2,2 persen di atas rata-rata pertumbuhan Indonesia.
Bila dibandingkan dengan mitra-mitra dagang utama Indonesia tersebut, lompatan pertumbuhan dibandingkan rata-rata pertumbuhan Indonesia sangat kecil.
Semuanya terjadi lompatan ‘double digit’, sementara Indonesia hanya melompat 2,2 persen saja di atas rata-rata.
Dan kemungkinan besar, pada kuartal ke-III dan ke-IV 2021 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali turun hingga di bawah rata-rata pertumbuhan normalnya.
Jadi bila pertumbuhan rata-rata
Indonesia adalah 4,88 persen, maka sudah benar bila banyak analis dari pemerintah dan non-pemerintah juga yang memproyeksikan bahwa pertumbuhan ke depan, kuartal III dan IV 2021 hingga keseluruhan tahun, hanya akan di kisaran 3 persen.
Juga bukankah pertumbuhan ekonomi
bila dihitung secara semesteran, tahun 2021 dibandingkan tahun 2020, hanya bertumbuh 3,1 persen?
[***]