PRESIDEN Jokowi mendapat tepuk tangan meriah ketika membacakan pidato penutupan pada pertemuan IMF/World Bank di Bali, Jumat, 12 Oktober 2018. Pidato ini intinya memberikan pujian atas kemampuan IMF/WB yang mampu menyelamatkan dunia dari krisis ekonomi 2008.
Jokowi lalu mengingatkan bahwa “the winter is coming”, sebagai ungkapan bahwa saat ini muncul potensi krisis global yang harus diantisipasi bersama. Ia juga mengkritik global power yang melakukan perang dagang, yang dapat menghancurkan ekonomi dunia. Salah satu global power ini adalah “evil of winter”.
Sebagai “titisan” Bung Karno yang anti kapitalisme global, tentu kita harus mencermati dan mengkritisi pidato Jokowi tersebut. Pertama, benarkah WB/IMF dan masyarakat keuangan dunia yang bertepuk tangan atas pidato Jokowi itu penyelamat dunia pada krisis 2008? Ataukah mereka bagian dari penciptanya?
Krisis ekonomi global 2008 adalah kriris yang ber epicentrum di Amerika. Dampak ekonomi globalnya terjadi diberbagai belahan negara maju, khususnya eropa, yang negara tersebut mempunyai sistem ekonomi dan keuangan yang terkoneksi dengan keuangan Amerika tersebut.
Lebih khusus lagi adalah negara negara yang sistem ekonominya hampir 100% masuk dalam ekonomi “modern” yakni terintegrasi pada “capital market dan financial market’.
Indonesia adalah salah satu negara yang tidak terdampak krisis ekonomi dunia tersebut. Meski beberapa faktor dikatakan mempengaruhi ketidak terdampakan ini, namun wapres JK saat itu mengatakan bahwa “market size” kita terlalu kecil.
Pada tahun 2008, kapitalisasi pasar kita sebesar Rp1000-an triliun, dari 401 emiten. Rasio kapitalisasi pasar terhadap GDP kita hanya 50%. Ditambah faktor lain lagi 85% perdagangan kita bersifat domestik.
Keberhasilan Amerika menstabilkan perekonomiannya tidak tergantung IMF, World Bank dan semua yang hadir bertepuk tangan mendengar pidato Jokowi itu. Pada tahun 2008 (di masa Bush) dan selanjutnya sampai 2012 (di masa Obama), Amerika menyelesaikan sendiri masalahnya dengan tema bersama (Demokrat dan Republik): “too big to fail”. Ratusan miliar dollar uang rakyat Amerika dihabiskan untuk recovery ekonomi mereka.
Keterlibatan IMF di eropa, misalnya pada krisis Yunani, sebenarnya juga tidak signifikan. Dari data utang Yunani paska 20 Agustus 2018, saat penghentian program “bailout”, hutang Yunani tersisa sebesar 283 Milyar Euro kepada entitas eropa, khususnya Jerman, sedangkan ke IMF hanya 12 Milyar Euro saja. Jerman sebagai penjaga utama Uni Eropa, sekaligus pengutang terbesar Yunani, justru mungkin disebut penyelamat Yunani, jika krisis mereka bisa berakhir, bukan IMF dan WB (saja).
Lalu kenapa Jokowi berterima kasih pada IMF dan WB dalam menyelamatkan krisis 2008?
Kedua, dalam konteks “winter is coming”, kita harus membedah krisis apa yang akan datang bagi dunia, dan khususnya Indonesia? Saat ini kita dihantui dengan isu krisis di negara2 berkembang “emerging markets”. Persoalannya dalam “five fragile markets” Indonesia dimasukkan diantara beberapa negara, seperti Turki, Brazil dan India.
Persoalannya apa hubungan institusi keuangan dunia dan para investment bankers serta lembaga rating yang ada dengan krisis ekonomi kita? Kenapa mereka bertepuk tangan ketika disebutkan “winter is coming”?
Problem pokok negara-negara “fragile five emerging markets” adalah utang mereka terlalu besar (souverign bond and private) dan tergantung pada dollar. Padahal dollar sampai setahun ke depan diperkirakan akan semakin kuat karena “quantitative easing” akibat kebijakan the FED.
Indonesia yang selalu berargumentasi bahwa hutang ini masih dalam batas normal dan terkendali, bersandar pada imaginasi “leverage” yang merasiokan hutang dengan asset bukan dengan income yang dibutuhkan untuk membayar utang.
Sikap seperti ini pada akhirnya menjebak prilaku menggampangkan soal utang. Sebuah mindset yang membuat “debt mania”, sebuah penyakit yang disebut Ruchir Sharma sebagai komplotan pemberi utang, rating agensi, dan penerima utang. Apalagi utang itu adalah sebuah bisnis, yang memberi manfaat pada broker hutang pula.
Jadi pidato Jokowi soal “Winter is coming” seharusnya bukan menjadi beban peserta pertemuan Bali itu, melainkan beban Indonesia dan negara-negara yang struktur ekonominya terperangkap dalam beban hutang.
Sedangkan, jika dikaitkan dengan kemajuan ekonomi Amerika vs kemunduran berbagai ekonomi dunia, kita akan lihat pada poin ketiga.
Ketiga, pidato Jokowi soal persaingan super power, khususnya tentu perang dagang Amerika terhadap China dan beberapa negara eropa. Ini adalah “global paradox” sejak Trump menjadi presiden.
Trump memiliki janji kampanye terhadap rakyat Amerika bahwa dia akan menciptakan “Make America Great Again”. Ciri pemimpin Amerika adalah memenuhi janjinya, pantang berbohong.
Janji utama Trump antara lain adalah mengembalikan perusahaan-perusahaan Amerika yang ada di luar negeri untuk membangun industri di negara sendiri. Kemudian memberlakukan tarif perdagangan bilateral yang artinya sekaligus tidak perduli dengan WTO. Berbagai negara seperti China, German dan juga Indonesia terkena tarif masuk ekspor ke USA.
Trump lalu berjanji menciptakan lapangan kerja. Job, job, job bukan kerja, kerja, kerja. Job itu artinya kerja dengan gaji. Sedang kerja, kerja dan kerja bisa juga seperti ‘pak ogah”.
Apa yang salah dengan Trump? Apakah Trump “Evil of the winter?”
Jokowi telah menyetir adanya ironi di mana saat ini pertumbuhan ekonomi Amerika bagus, namun di banyak negara mulai berjatuhan. Ini yang disebutnya seperti “The Game of Thrones”.
Tentu Trump harus memenuhi dulu janjinya pada rakyatnya, bukan janji kepada masyarakat dunia atau kepada IMF dan WB. Trump adalah pemimpin negara super power.
Apakah kita mau melawan Trump? Populism vs Globalism dalam konteks kepemimpinan Trump di dunia saat ini, mungkin adalah sebuah “The Game of Thrones” yang dimaksudkan Jokowi. Namun, masuk dalam agenda itu atau menganjurkan untuk kita bersama kaum globalis melawan Trump memerlukan berbagai kajian.
Kasus Turki yang melawan Amerika saat ini, tentu mempunyai berbagai dimensi yang harus diteliti. Jika tidak, Indonesia akan terseret dalam pertarungan para raksasa power di atas. Sanggupkah kita? khususnya tanpa Indonesia yang ideologis dan bersatu?
Ketiga masalah yang saya uraikan di atas memerlukan refleksi bagi kita untuk melihat posisi kita secara mendalam pada konteks global dan globalisasi. Sikap kita pada IMF dan WB selama ini, khususnya ketika SBY dulu melepaskan ketergantungan pada IMF, adalah mengkritisi dua lembaga tersebut sebagai dua institusi global yang sering ikut memperangkap kita pada utang berkepanjangan (ingat kehadiran IMF pada krisis 1998 masih menyisakan perosalan hutang BLBI sampai saat ini) dan berbagai advis yang menjebak pada kemiskinan rakyat.
Memuji IMF dan WB sebagai penyelamat dunia, tentu bukan karakter bangsa kita, (apalagi seorang “titisan Bung Karno”), yang ingin tumbuh berkembang sebagai bangsa mandiri, merdeka dan berdaulat. Bangsa yang lepas dari ketergantungan dan keterbelakangan.
Adanya global paradox, di mana Trump mendorong adanya hubungan bilateral bukan multilateral sebagai agenda besar hubungan antara bangsa, mungkin sebuah jalan keluar yang baik buat bangsa kita menatap kebangkitan ke depan. Dunia sudah terlalu lama dicengkeram 3 pilar “setan” yakni IMF, WB dan WTO. Tiga “setan” ini ketakutan hancur berhadapan dengan Trump. Tentu kita punya kesempatan membebaskan diri dari 3 lembaga itu.
Saat ini misalnya, Perdana Menteri Jepang sedang mengunjungi China untuk membicarakan hibungan dagang bilateral. Kita juga harus memperbanyak agenda bilateral untuk kemajuan kita. Bukan tunduk pada lembaga-lembaga multilateral.
Semoga ke depan Indonesia memilik pemimpin yang mengutamakan Integritas bangsa dengan tema: “Make Indonesia great again”.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle