Artikel ini ditulis oleh Dr Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia.
Ketika dunia memasuki fase pandemi yang baru, dan berpotensi lebih mematikan, para politisi harus mencari solusi yang lebih baik dalam menangani krisis kesehatan masyarakat.
Masyarakat menjadi lelah dengan pandemi, lonjakan kasus yang tak henti-hentinya, penguncilan dan kesulitan keuangan. Dan mereka sekarang mulai mengekspresikan ketidakpuasan mereka di jalanan.
Kita telah melihat gerakan massa di Brasil, Kuba, Afrika Selatan, dan baru-baru ini rakyat Malaysia berkumpul protes menuntut perubahan politik.
Dengan pandemi yang menyebabkan kemerosotan ekonomi, krisis itu dapat cepat berkembang menjadi krisis politik.
Akses vaksin yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara maju membuat negara-negara berkembang akan menderita lebih lama akibat Covid-19, daripada negara-negara di Amerika Utara dan Eropa.
Di negara-negara berkembang, tingkat vaksinasi rata-rata di bawah 20 persen, dan di banyak negara Afrika yang lebih miskin, tingkat rata-ratanya kurang dari 5 persen.
Di negara-negara berpenghasilan rendah, tingkat vaksinasi secara keseluruhan sangat rendah 1,1 persen. Kita boleh ambil contoh Venezuela, jika tingkat vaksinasi tidak dipercepat, akan dibutuhkan satu dekade lagi untuk mencapai keseluruhan penduduk tervaksinasi.
Dengan kata lain, jika bantuan tidak segera datang, situasi akan menjadi tanpa harapan.
Kita sering bertanya-tanya bagaimana jadinya dunia setelah pandemi berlalu. Saat ini, tidak terlihat sangat menjanjikan.
Namun, kita tidak boleh putus asa, dan saya tidak dapat memikirkan contoh yang lebih baik tentang apa yang terjadi di Eropa pada tahun-tahun setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Setelah Rusia menyerbu Jerman, dan Berlin jatuh pada tahun 1945, Uni Soviet di bawah rezim Stalin dengan cepat menguasai kendali atas negara-negara Baltik dan Eropa Timur.
Pada akhir 1940-an, sebagian besar Eropa Timur dikurung di balik apa yang kemudian dikenal sebagai Tirai Besi.
Sementara itu, di Eropa Barat yang dipimpin AS, perang dunia kedua telah menghancurkan seluruh perekonomian.
Pusat-pusat industri terkemuka telah hancur, infrastruktur penting rusak dan Eropa Barat tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki.
Produksi pertanian terganggu sampai-sampai orang Eropa di ambang kelaparan.
Karena kesengsaraan seperti itu, banyak perkiraan bahwa masa depan politik Eropa Barat akan jatuh ke tangan partai komunis lokal yang didukung oleh Uni Soviet.
Telah tercipta iklim yang matang untuk revolusi dan, pada bulan Maret 1947, ketika Yunani dan Turki di ambang pengambil alihan oleh gerakan gerilya yang didukung Soviet, hal itu membuat AS harus bersikap.
Presiden AS Harry Truman dan para pembantu utamanya mengatakan bahwa AS harus turun tangan dan memberikan dukungan militer dan ekonomi.
Eropa Barat cemas akan menghadapi nasib yang sama seperti Eropa Timur, dibawah hegemoni komunis dan Soviet Russia. Pada bulan Juni tahun itu, Presiden Truman mengumumkan kebijakan ‘Marshall Plan’, sebuah upaya kemanusiaan darurat yang memberikan bantuan 17 miliar dolar AS ke Eropa.
Empat tahun kemudian, pendapatan rakyat Eropa Barat naik dua kali lipat, tertinggi sejak sebelum perang, mereka kembali bekerja, dan demokrasi aman berkembang.
Apa yang dulu tampak tidak bisa terelakkan, bahwa seluruh Eropa akan menjadi satelit komunis Uni Soviet, ternyata tidak terjadi.
Kita menghadapi situasi yang sama hari ini. Alih-alih perang, dunia sedang mengalami pandemi, yang terburuk dalam lebih dari satu abad dan yang diyakini para ahli statistik dapat menyebabkan sebanyak 12 juta kematian, atau tiga kali lebih banyak dari jumlah resmi.
Triliunan dolar telah hilang dalam output ekonomi. Dan dengan kehancuran seperti itu, seperti yang dialami Eropa setelah Perang Dunia II, bisa berkembang menjadi krisis politik.
Alih-alih Rusia, hari ini Cina yang akan mencari cara untuk mengeksploitasi dinamika yang terjadi untuk memperkuat pengaruhnya, dan lebih lanjut melanjutkan agenda hegemoninya.
Namun pada saat penulisan ini, baik Joe Biden dari AS maupun para pemimpin dunia demokratis lainnya belum melangkah untuk mengatasi tantangan eksistensial ini.
Bertentangan dengan apa yang dipikirkan oleh para perencana kebijakan Barat, ancaman langsung dari Cina tidak berasal dari militernya.
Apa yang disebut Quad, semacam NATO untuk Asia, bukanlah solusi untuk ancaman saat ini.
Inisiatif ‘G7’s Build Back Better World’, yang secara konsep akan menyediakan pembiayaan multilateral untuk proyek-proyek infrastruktur di negara berkembang dan seolah-olah lebih menguntungkan daripada ‘Inisiatif Belt Road China’, ternyata tidak memadai.
Biden sekarang harus menyadari tidak ada yang bisa menghentikan Beijing untuk mencoba mengeksploitasi ketidakstabilan politik di halaman belakang Amerika sendiri, Amerika Selatan.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang Afrika dan Asia, dua wilayah rentan lainnya di dunia.
Presiden Truman memahami perlunya tindakan segera menghadapi hegemoni komunis Soviet Russia, Biden harus menyadari bahwa dia harus menerapkan rencana Marshall Plan Baru untuk menghadapi hegemoni Cina.
Negara-negara berkembang yang bisa jatuh dengan cepat ke dalam jurang membutuhkan dukungan segera. Jika tidak, akibatnya akan terasa jauh dan sangat luas.
[***]
Artikel ini sebelumnya tayang di The Diplomat, Washington DC, 4 Agustus 2021 dengan judul The World Needs A New Marshall Plan.