Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
MATA rantai pemimpin boneka mau disambung lagi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Presidential Treshold 20 persen, padahal sejak ratusan tahun negeri ini pernah punya pengalaman menyakitkan dipimpin para penguasa boneka.
Para Gubernur Jenderal kolonial Belanda yang pernah berkuasa di negeri ini adalah pemimpin boneka, yang dikendalikan oleh para bandar yang disebut Heeren Zeventien (Heeren XVII) atau Dewan Tujuh Belas.
Heeren Zeventien adalah para bandar yang berasal dari 17 provinsi di Belanda.
Mereka adalah para pemilik modal yang mengongkosi pembuatan kapal, rekrutmen tenaga kerja, pelayaran, logistik, dan operasional lainnya, yang dijalankan oleh VOC di Nusantara.
Heeren Zeventien sebagai pemilik modal mengambil keuntungan yang sangat besar dari kekayaan alam Nusantara yang dirampok oleh VOC, yang kemudian bekerjasama dengan elit bumiputera, seperti para sultan dan raja-raja yang berkhianat.
Gubernur Jenderal dipilih oleh Heeren Zeventien, dan dipastikan figur yang dipilih dapat diandalkan memainkan peran sebagai boneka.
Sejarawan Bernard H. M Vlekke di dalam bukunya “Nusantara: Sejarah Indonesia”, mencatat, negeri ini dikuasai VOC dengan 38 Gubernur Jenderal, sejak tahun 1609 sampai 1816.
Setelah VOC bangkrut karena kalah teknologi pelayaran dengan perusahaan dagang Inggris, EIC, dan adanya Traktat London 1814, serta korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh para pejabatnya sendiri, Nusantara berada di bawah rezim Hindia Belanda, sejak 1816 hingga 1946, dengan 28 Gubernur Jenderal.
Dari dua rezim ini total keseluruhan Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di tanah air adalah 66 Gubernur Jenderal.
Jadi, selama 337 tahun, sejak 1609-1946, negeri ini pernah dipimpin oleh penguasa boneka yang mewakili kepentingan penjajah.
Jika di masa lampau pemimpin boneka diongkosi dan dipilih oleh para bandar yang disebut Heeren Zeventien, hari ini pemimpin boneka diongkosi dan dipilih oleh oligarki, atau kadang disebut pula Sembilan Naga, yang juga para bandar.
Rata-rata Gubernur Jenderal memerintah tiga sampai lima tahun. Jan Pieterszoon Coen berkuasa dua periode (1618-1629). Reputasinya jelek, mimpin genosida di Pulau Banda, 1617, untuk memonopoli perdagangan pala.
Hanya sedikit dari para Gubernur Jenderal itu yang berasal dari golongan intelek. Umumnya memulai karir sebagai juru tulis dan opperkoopman (pedagang), yang selain bekerja untuk kepentingan VOC juga untuk keuntungan diri sendiri.
Belanda bisa menjajah ratusan tahun terutama bukan dengan cara-cara militer, tetapi melalui konsesi atau perjanjian-perjanjian dengan elite penguasa pribumi, seperti raja-raja atau sultan, yang mengacuhkan etika dan menyediakan diri jadi boneka.
Inilah pula yang terjadi sekarang, bandar-bandar mengikat lembaga-lembaga resmi negara, mengatur untuk menyelewengkan konstitusi, demi terus memelihara penguasa boneka.
Para elit kekuasaan hari ini sulit beranjak dari keburukan-keburukan sejarah bangsa di masa lalu. Itulah sebabnya kolonialisme bukan saja aktual saat ini, tetapi juga semakin nyata dipraktekkan.
[***]